Sejarah Dipongeoro
Para pahlawan Islam adalah mereka yang telah
mengorbankan apa yang sangat mereka cintai demi tegaknya sebuah kebenaran yang
mereka yakini. Para pahlawan ini telah memberikan teladan yang tinggi dalam
kehidupan. Disaat paham materialisme dan pragmatisme mengerogoti lembaga-lembaga
pendidikan, maka pemahaman yang benar terhadap para pahlawan Islam -- yang juga
diakui juga sebagai pahlawan nasional Indonesia – sangatlah penting untuk dapat
meneladani sikap dan perjuangan mereka serta menjadikan para anak didik memiliki
adab yang baik. Sayangnya, hal ini masih belum banyak terjadi, sebab adanya
kesalahan dalam pengajaran sejarah. Kasus pengajaran tentang Pangeran Diponegoro
dan RA Kartini dapat kita jadikan satu contoh.
Di sejumlah lembaga pendidikan Islam, saya mengedarkan
daftar pertanyaan kepada para guru, santri, dan murid, untuk dijawab: SETUJU
ATAU TIDAK. Salah satu pertanyaan itu berbunyi sebagai berikut: ”Pangeran
Diponegoro berperang melawan Belanda karena kecewa tanah leluhurnya dirampas
oleh Belanda dan tahta Kerajaan Mataram tidak diserahkan kepada dirinya, tetapi
diserahkan oleh Belanda kepada adiknya.”
Ternyata, banyak yang menjawab SETUJU. Jawaban itu
tidak mengejutkan, sebab memang sesuai dengan materi buku sejarah yang diajarkan
di sekolah-sekolah, termasuk sekolah dan lembaga pendidikan Islam lainnya.
Padahal, faktanya, Diponegoro adalah pahlawan Islam. Diponegoro adalah mujahid
yang terkenal dengan pakaian jubah dan sorbannya. Unsur-unsur ”ruh Islam” inilah
yang tampak dihilangkan dalam banyak materi pendidikan sejarah. Karena kasus
Pangeran Diponegoro ini perlu disimak.
Pada jurnal Islamia-Republika, edisi 15 Oktober
2009, dimuat sebuah artikel menarik berjudul ”DIPONEGORO PANGERAN SANTRI PENEGAK
SYARIAT”. Artikel itu ditulis oleh Ir. Arif Wibowo, peserta Program Kader Ulama
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Artikel
itu membuka kembali wacana penting dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia,
bahwa Pangeran Diponegoro bukanlah pahlawan nasional yang berjuang melawan
Belanda semata-mata karena urusan tanah atau tahta. Tapi, Pengeran Diponegoro
adalah pahlawan Islam, bangsawan Jawa yang mendalami serius agama Islam, dan
kemudian melawan penjajah Belanda dengan semangat jihad fi sabilillah.
Diponegoro adalah sosok pahlawan yang berani meninggalkan tahta dan kenikmatan
duniawi demi mewujudkan sebuah cita-cita luhur, tegaknya Islam di Tanah
Jawa.
Berikut ini kita sajikan secara utuh tulisan yang
menarik tentang Diponegoro tersebut:
Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua
dari Sultan Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati,
keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan
Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya
sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa
Timur.
Dalam bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang
Dipnegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki
menyebutkan, bahwa saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya,
Sultan Hamengkubuwono I,
bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.
bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.
Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral
akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro
kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke
Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak
kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan
menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren
Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian
wulung.
Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama
Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang
keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat
Tegalrejo.
Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805,
Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan
anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta,
Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke
dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius.
(Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad
ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29)
Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah
Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya
R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang
Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad.
Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah
Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau
saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran
mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda.
Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa
lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro,
jilid 1 hal. 39-40).
No comments:
Post a Comment