2. Imam Syafii
Pada Jumat, 1 Desember 2006, Pesantren Tinggi Husnayain
di Jakarta, membuka pengajian Kitab Kuning ‘Ahkamul Quran lil-Imam
Syafii’. Acara pembukaan dihadiri oleh pejabat kecamatan Pasar Rebo,
sejumlah kyai dan ustad di sekitar pesantren, juga wakil Perguruan As-Syafiiyah
Jakarta. Ustad yang mengasuhnya adalah Syeikh Abdurrahman al-Baghdadi, pakar
ilmu fiqih, dan dosen Pesantren Husnayain.
KH A. Cholil Ridwan, pemimpin pesantren, menjelaskan
latar belakang dan pentingnya pengajian yang dikhususkan untuk para ustad,
mubalig, dosen, dan peminat Ulumuddin ini. Kata Kyai Khalil, yang juga salah
satu ketua MUI Pusat, saat ini kajian tentang Imam Syafii sangat penting,
mengingat begitu banyak hujatan-hujatan terhadap Imam Syafii, dan juga banyak
orang yang menggunakan nama ‘Syafii’ tetapi pemikirannya justru banyak
bertentangan dengan pemikiran dari Imam Syafii. Banyak juga yang merasa menjadi
pengikut Imam Syafii, tetapi kurang memahami apa sebenarnya pemikiran Imam
Syafii.
Dalam acara pembukaan itu dibacakanlah riwayat hidup
Imam Syafii oleh Ustad Abdurrahman. Meskipun beberapa bagian dari riwayat hidup
Imam Syafii sudah saya dengar sejak kecil, tetapi malam itu saya banyak
mendapatkan cerita baru tentang kehebatan dan keagungan Imam Syafii. Dalam
riwayatnya, Imam Syafii sendiri menceritakan, bahwa beliau lahir di Gaza,
Palestina, tahun 150 Hijriah, pada saat meninggalnya Imam Abu Hanifah. Sehingga
orang menyatakan, “Imam yang telah pergi digantikan Imam yang
baru.”
Imam Syafii ditinggal ayahnya sejak bayi dan tumbuh
sebagai anak yatim dan miskin. Pada usia 2 tahun, ia dibawa Ibunya ke Mekkah. Di
Baitullah, beliau menghafal al-Quran dan kemudian mempelajari bahasa dan sastra
Arab, termasuk syair. Kemudian beliau menfokuskan untuk mempelajari hadits
Rasulullah saw, sehingga menguasai semua ilmu tersebut.
Imam Syafii sendiri menceritakan, bahwa beliau sudah
menghafal al-Quran saat berumur 7 tahun, dan hafal Kitab al-Muwattha’ karya Imam
Malik pada umur 10 tahun. Ketinggian Imam Syafii dalam ilmu agama sangat masyhur
dan mendapatkan pengakuan yang luas. Pada umur 18 tahun, beliau sudah diminta
oleh para ulama agar memberikan fatwa. Itu berarti pengakuan atas statusnya
sebagai seorang mujtahid. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, bahwa Imam Syafii
adalah seorang yang sangat memahami al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Beliau
tidak pernah merasa puas dalam mencari dan mengumpulkan hadits. Kata Imam Ahmad
: ‘’Tidak seorang pun yang memegang pena dan tinta kecuali dia berfigur kepada
Imam Syafii.’’
Bukan hanya itu, Imam Syafii juga memiliki akhlak yang
sangat mulia dan seorang ahli ibadah yang tekun. Di bulan Ramadhan, beliau
sanggup mengkhatamkan al-Quran sebanyak 60 kali dalam shalat. Sang Imam pun
dikenal ahli ibadah dan sangat sedikit tidurnya. Selama kurun waktu 16 tahun,
misalnya, beliau hanya pernah makan sampai kenyang, satu kali saja, dan kemudian
disesalinya, karena berdampak negatif terhadap daya pikir dan ibadah.
Kedermawanan Imam Syafii juga luar biasa. Pernah beliau sampai bangkrut tiga
kali, menjual harta sampai perhiasan istrinya, hanya untuk menolong orang yang
membutuhkan. Jangan ditanya, bagaimana kegigihan Imam Syafii dalam belajar dan
mengajarkan ilmunya.
Syahdan, suatu ketika Imam Syafii berkunjung ke rumah
Imam Ahmad bin Hanbal. Sudah lama putri Imam Ahmad merasa penasaran dengan sosok
Imam Syafii, karena ayahnya banyak memuji Sang Imam. Maka, sepanjang hari,
diamat-amatilah perilaku Imam Syafii saat bertamu tersebut. Dia sangat terkejut,
karena didapatinya Imam Syafii tidak seperti yang diceritakan ayahnya. Sang Imam
ternyata makan cukup banyak, tidak melaksanakan shalat malam, dan melakukan
shalat shubuh tanpa wudhu. Esoknya, dia mengadukan itu kepada ayahnya. Imam
Ahmad meminta putrinya menanyakan langsung kepada Imam
Syafii.
Apa jawab Imam Syafii? Kata Imam, beliau makan banyak
adalah untuk menggembirakan tuan rumah; beliau tidak shalat malam dan tidak
tidur, tetapi malam itu beliau berhasil memecahkan 70 masalah fiqih; dan beliau
tidak berwudhu saat shalat subuh, karena wudhu Isya’-nya belum
batal.
Itulah riwayat hidup Imam Syafii yang hingga kini,
pemikiran-pemikirannya bagitu banyak diikuti oleh kaum Muslimin sepanjang zaman.
Imam Syafii meninggal pada malam Jumat di hari terakhir bulan Rajab, 204
Hijriah. Ada yang menceritakan, bahwa Imam Syafii menderita ambeien untuk waktu
yang lama, namun beliau tidak pernah berhenti untuk mengajarkan ilmunya. Bukan
kalangan Ahlu Sunnah yang mengagumi Imam Syafii. Sejumlah tokoh Mu’tazilah,
seperti al-Qadhi Abdul Jabbar dan Ibn al-Ikhshadh juga bermadzhab
Syafii.
Riwayat Imam Syafii dan para ulama besar lainnya sangat
perlu kita ambil hikmahnya dalam rangka mengarungi kehidupan di zaman ini. Para
ulama itulah yang menjadi pewaris para Nabi. Melalui para ulama itulah, kita
mewarisi agama Islam. Kita mewarisi al-Quran dan hadits Nabi melalui para ulama,
sejak zaman sahabat Nabi saw hingga periode para Imam mazhab, dan para
ulama-ulama berikutnya. Tanpa mereka, kita tidak mampu mewarisi dan menerapkan
Islam dengan baik. Para ulama kemudian merumuskan berbagai bidang keilmuan –
seperti ilmu lughah, ilmu tafsir, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu hadits, dan
sebagainya – untuk memudahkan umat dalam memahami dan mengamalkan Islam. Kita
akan sangat kesulitan untuk menentukan mana bagian shalat yang merupakan syarat,
rukun, dan sunnah, bila tidak dibimbing oleh para ulama.
Karena itu, Islam sangat memuliakan harkat ulama dan
ilmu. Islam tegak diatas ilmu. Jika ilmu agama rusak, maka rusaklah ulama, dan
kemudian otomatis, akan rusaklah masyarakat. Karena itu, salah satu masalah
serius yang diakibatkan dalam kegiatan orientalisme dalam studi Islam adalah
rusaknya ilmu-ilmu Islam. Salah satu caranya adalah dengan meruntuhkan otoritas
ulama. Dan Imam Syafii menjadi salah satu sasaran tembak yang
strategis.
Dalam kajiannya terhadap buku-buku Nasr Hamid Abu Zayd
-- terutama buku “Al-Imam al-Shafi‘i wa Ta’sis al-Aidiyulujiyyah
al-Wasathiyyah”, peneliti INSISTS Henry Shalahuddin MA menemukan semangat
kebencian yang sangat tinggi dari Abu Zayd terhadap Imam Syafii. Sosok Imam
Syafi’I, oleh Abu Zayd digambarkan sebagai sosok ulama yang oportunis (penjilat)
terhadap para penguasa Bani Abasiyyah. Keoportunisan Imam Syafii dikaitkan
dengan kepergian beliau ke Mesir setelah diangkatnya al-Makmun sebagai khalifah
dinasti Abbasiyyah. Oleh Abu Zayd, beliau dituduh memilih Mesir sebagai
tujuannya semata-mata karena pada saat itu gubernurnya adalah orang
Quraisy.
Bagi Abu Zayd, kepergian Imam Syafi’i meninggalkan
Baghdad yang saat itu diperintah oleh al-Makmun lebih disebabkan karena khalifah
ini sangat mendukung madzhab Mu’tazilah, bahkan kemudian meresmikannya menjadi
madzhab resmi negara. Ketidaksukaan Imam Syafi’i terhadap Mu’tazilah karena
aliran ini tidak mengakui keazalian al-Qur’an yang diwahyukan dalam bahasa Arab,
sehingga dengan sendirinya runtuhlah arabisme dan hegemoni Quraisy yang dibangun
Imam Syafi’i yang dikaitkan dengan al-Qur’an yang berbahasa
Arab-Quraisy.
Semangat kebencian Abu Zayd terhadap Imam Syafii ini
kemudian diikuti oleh kalangan liberal di Indonesia. Sebagaimana pernah kita
ungkap, sebelum mendekonstruksi hukum-hukum Islam, buku Fiqih Lintas
Agama terbitan Paramadina memulainya dengan kecaman dan tuduhan terhadap
posisi Imam Syafii. Ditulis dalam buku ini:
“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan
belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i
memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah
pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad.
Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim
tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu
diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga
lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits). Buktinya, setiap
bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka
Syafi’i.”
Kehebatan Imam Syafii diakui oleh semua ulama dalam
Islam, bahkan yang berbeda mazhab sekali pun, seperti Imam Ahmad bin Hanbal.
Tetapi, tidak demikian halnya dengan kalangan yang ingin mengubah Islam dan
menyeret Islam ke dalam bagian dinamika sejarah, seperti Nasr Hamid Abu Zayd.
Bagi kalangan ini, Imam Syafii dianggap sebagai penghalang besar bagi misi
mereka. Karena itulah, otoritas dan integritas Imam Syafii mereka coba untuk
diruntuhkan. Karena ini sesuai dengan misi Barat dalam liberalisasi agama-agama,
maka proyek-proyek yang meruntuhkan otoritas dan integritas ulama-ulama Islam
mendapatkan pasaran besar di kalangan akademisi kampus-kampus berlabel
Islam.
Di tengah arus penghancuran otoritas ulama seperti itu,
kita masih bersyukur, pada Kamis (7 Desember 2006), Dr. Luthfi Fathullah, dosen
pasca sarjana UIN Ciputat, meluncurkan bukunya yang dia beri judul “Selangkah
Lagi Mahasiswa UIN menjadi Kyai”. Dalam acara yang berlangsung di kampus UIN
Ciputat itu, saya diminta menjadi salah satu pembahas. Melalui karyanya yang
ringkas dan padat ini, Luthfi Fathullah ingin membuat ‘arus lain’ di UIN, yang
tidak liberal. Secara praktis dia menyarankan bagaimana agar mahasiswa UIN bisa
menjadi kyai – dalam arti seorang yang berilmu agama yang benar dan mengamalkan
ilmunya dengan baik – sebagaimana para ulama-ulama besar dulu, seperti Imam
Syafii, Imam Ghazali, Imam Nawawi, dan sebagainya.
Luthfi menekankan pentingnya membangun tradisi ilmu di
kalangan mahasiswa dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama. Menurutnya,
rata-rata ulama membaca dan menulis sekitar 15 jam sehari, sehingga mereka mampu
menghasilkan karya-karya besar yang menjadi rujukan umat sepanjang zaman. Luthfi
menekankan pentingnya mahasiswa UIN menguasai ilmu-ilmu Islam, seperti bahasa
Arab, Ulumul Quran, Ulumul Hadits, Fiqih dan ushul fiqih. Disamping itu, dia
menekankan pentingnya niat yang ikhlas dalam mencari ilmu. Keikhlasan itulah
yang menjadikan karya-karya para ulama menjadi berkah dan dirujuk oleh umat
sepanjang masa.
Gerakan kajian kitab-kitab klasik karya para ulama
besar seperti yang dilakukan pesantren Husnayain dan juga berbagai lembaga Islam
lainnya perlu mendapat dukungan dan partisipasi luas kaum Muslimin, khususnya
kalangan aktivis dakwah. Hanya melalui pengkajian yang serius dan pemahaman
keislaman yang benar, umat Islam akan terhindar dari arus penghancuran ilmu dan
aqidah Islam di zaman yang penuh dengan fitnah ini. Zaman di mana haq dan bathil
sudah dibolak-balik dan diacak-acak (talbisul haqqa bil bathil). Apalagi, dalam
merusak keilmuan Islam, kalangan ini juga tak jarang berhujjah dengan al-Quran,
tetapi dengan membuat tafsir sesuai dengan pemahaman dan hawa nafsunya
No comments:
Post a Comment