1. Imam Hanafy
Di tengah carut-marutnya dunia hukum dan kepemimpinan
di negeri kita, ada baiknya kita menengok kembali kisah kehidupan Imam Abu
Hanifah atau Imam Hanafy, seorang ulama besar, yang sangat terkenal ketinggian
ilmu dan akhlaknya. Imam Abu Hanifah lahir di Kufah pada 80 Hijriah (699 M) dan
wafat pada tahun 150 Hijriah (767 M), tepat saat Imam al-Syafii lahir. Sering
dikatakan, Imam yang satu pergi, datang Imam yang lain. Nama asli beliau sejak
kecil adalah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah.
Sejak kecil, Imam Abu Hanifah hidup di tengah keluarga
pedagang. Setelah dikenal sebagai seorang yang alim sekali pun, dia juga
menjalankan perniagaan. Kehidupan Imam Hanafy pada masa hidupnya mengetahui
peristiwa pergantian Kepala Negara dari tangan banu Umayyah ke tangan banu
Abbasiyah. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul-Malik bin Marwan;
kemudian ketika tahun 127 Hijriah, Kepala Negara jatuh di tangan Marwan bin
Muhammad Al-Ja’dy (dari Banu Umayyah yang ke 14). Dan inilah akhir pemerintahan
Banu Umayyah.
Ketika itu, Gubernur di Iraq selaku wakil Kepala Negara
dijabat oleh Yazid bin Amr bin Hurairah Al Fazzary. Selaku Gubernur, ia berhak
mengangkat seseorang yang di pilihya untuk menjabat suatu jabatan tinggi di
bawah kekuasaannya. Pada suatu saat Imam Hanafy telah dipilih dan ditunjuk
menjadi Kepala Urusan Perbendaharaan Negara (Baiitul-Mal). Tetapi pengangkatan
itu ditolak oleh Abu Hanifah. Sampai berulang-kali Gubernur Yazid menawarkan
pangkat yang tinggi itu kepada beliau, namun tetap
ditolak.
Pada lain saat, Gubernur Yazid menawarkan lagi pangkat
Qadli (penghulu negara) kepada Imam Hanafy. Tetapi beliau bersikap menolak
tawaran itu. Melihat sikap Imam Hanafy, Gubernur mulai tidak senang. Mulailah
muncul kecurigaan terhadap Sang Imam. Gerak-geriknya mulai diamati. Kemudian
pada suatu hari, Sang Imam mulai diancam hukum cambuk dan penjara oleh penguasa.
Tetapi sewaktu mendengar ancaman tersebut, Sang Imam hanya menjawab: “Demi
Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekali
pun–andai kata-aku sampai di bunuh olehnya.”
Suatu hari, Gubernur Yazid memanggil para alim ulama
ahli fiqih yang terkemuka di Iraq dan dikumpulkan di muka istananya. Di antara
yang datang, ada Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubramah, Dawud bin Abi Hind dan
lain-lainnya. Mereka masing-masing lalu di beri pangkat (kedudukan) resmi oleh
Gubernur. Tapi, Imam Hanafy tidak datang. Padahal, Sang Imam diberi jabatan
tinggi, sebagai kepala “Tata Usaha” Gubernuran yang bertugas menandatangani
semua surat-surat resmi yang keluar dan yang bertanggung jawab atas uang
perbendaharaan negara yang di keluarkan dari Gubernuran. Semua surat resmi tidak
akan dapat dilangsungkan keluar jika belum distempel (cap) dari tanda tangan
beliau, dan uang dari perbendaharaan Negara (Baitul-Mal) tidak akan mungkin
dikeluarkan sepeser pun, jika belum di tanda tangani (distempel) oleh beliau.
Tetapi jabatan yang sepenting dan setinggi itu, tidak diterima oleh Imam Abu
Hanifah.
Gubernur Yazid bersumpah: “Jika Abu Hanifah tidak sudi
menerima angkatan ini, niscaya akan dipukul dia.” Para ulama yang mendengar
sumpah Gubernur itu, lalu datang berduyun-duyun kepada Imam Hanafy untuk
menyampaikan harapan mereka, supaya beliau bersedia menerima jabatan yang
diberikan itu. Tapi, Sang Imam tetap kokoh dengan pendiriannya. Beliau tetap
bersikeras menolak pengangkatan dari Gubernur itu. Akhirnya, sang Imam ditangkap
dan dipenjara oleh polisi negara selama dua Jumat (dua minggu) dengan tidak
dipukul. Kemudian – sesudah dua Jumat –baru dipukul/ di dera empat belas kali.
Sesudah itu baru dibebaskan. Dalam riwayat lain dikatakan, suatu saat Imam
Hanafy diangkat lagi oleh Gubernur Yazid bin Hurairah menjadi Qadli (Hakim)
negeri di kota Kufah. Ttetapi dengan bersikeras ia tetap menolak. Karena itulah,
ia ditangkap lagi dan dijebloskan ke dalam penjara.
Di dalam penjara -- karena ia tetap menolak
pengangkatan itu – maka ia dijatuhi hukuman 110 kali cambuk. Hukuman itu
dicicil, tiap hari 10 kali cambukan. Akhirnya, sang Imam dilepaskan kembali dari
penjara sesudah merasakan 110 kali cambuk. Seketika keluar dari penjara, tampak
kelihatan mukanya bengkak-bengkak, akibat bekas cambukan. Mengalami semua
hukuman itu, Imam Hanafy hanya berucap: “Hukuman dunia dengan cemeti itu
lebih baik dan lebih ringan bagiku daripada cemeti di akhirat
nanti.”
Ujian kedua kepada Sang Imam datang pada tahun 136
Hijriah, dimasa Kepala Negara dijabat oleh Abu Ja’far Al-Manshur, saudara muda
dari Abul Abbas As-Saffah, pendiri Bani Abbasiyah. Ketika itu Imam Hanafy
berumur sekitar 56 tahun. Beliau dikenal sebagai orang besar yang gagah berani,
ahli fikir yang hebat dalam memecahkan soal-soal yang bertalian dengan
hukum-hukum agama.
Menurut riwayat, pada suatu hari Imam Hanafy mendapat
panggilan dari baginda Al-Manshur di Baghdad. Sesampai di sana, ternyata sang
Imam diangkat menjadi Hakim (Qadli) Kerajaan di Baghdad. Tawaran jabatan yang
setinggi itu oleh beliau ditolak. Maka, Al-Manshur bersumpah dengan keras, bahwa
ia harus menerima jabatan itu. Imam Hanafy pun juga bersumpah, tidak akan
sanggup memegang jabatan itu. Sumpah itu terjadi berulang kali, sehingga seorang
pegawai kerajaan mendekati Sang Imam dan berujar: “Apakah guru tetap menolak
kehendak baginda, padahal baginda telah bersumpah akan memberikan kedudukan
kepada guru?.” Imam Hanafy dengan tegas menyatakan : “Amirul mu’minin lebih kuat
membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar kifarat sumpah
saya.”
Oleh karena Imam Hanafy tetap menolak jabatan dari
Kepala Negara, maka ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad,
sampai masa yang telah ditentukan oleh Kepala Negara. Perlu dijelaskan, bahwa
pada masa itu ulama yang terkemuka di Kufah, ada tiga orang dan antara mereka
itu ialah Imam Ibnu Abi Laila.
Menurut riwayat, pada suatu hari Imam Hanafy
dikeluarkan dari penjara, karena mendapat panggilan dari baginda Al-Manshur.
Baginda menyerahkan jabatan Qadli (Hakim) negara kepada Abu Hanifah. Tetapi,
lagi-lagi ia tetap menolaknya. Baginda lalu kepada: “Adakah engkau telah suka
dalam keadaan seperti ini?.”
Sang Imam menjawab: “Semoga Allah memperbaiki Amirul
Mu’minin! Wahai Amirul Mu’minin, takutlah engkau kepada Allah, dan janganlah
engkau bersekutu dalam kepercayaan engkau dengan orang yang tidak takut kepada
Allah! Demi Allah, saya bukanlah orang yang boleh dipercaya di waktu tenang,
maka bagaimana saya tidak sepatutnya diberi jabatan yang sedemikian
itu!.”
Baginda berkata: “Kamu berdusta, karena kamu patut
memegang jabatan itu!.”
Imam menjawab: “Ya Amirul mu’minin! Sesungguhnya
baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahwa
saya tidak patut menjabat itu, dan jika saya berdusta, maka bagaimana baginda
akan mengangkat seorang Hakim yang pendusta? Di samping itu, saya ini adalah
seorang maula yang dipandang rendah oleh bangsa Arab, dan bangsa Arab tidak akan
rela diadili oleh seorang golongan maula seperti saya ini.” Karena tetap
menolak, sang Imam dijebloskan kembali ke dalam penjara.
Ada riwayat yang menyebutkan, Abu Ja’far Al Manshur
memanggil Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan Ats Tsauri dan Imam Syarik An Nakha’y
untuk datang menghadap di hadapan baginda. Setelah mereka bertiga menghadap,
masing-masing diberi kedudukan dan diberi surat
pengangkatan.
Kepada Imam Sufyan baginda berkata : “Ini penetapan
engkau untuk menduduki Qadli di kota Bashrah maka itu berangkatlah ke sana!” ,
dan kepada Imam Syarik baginda berkata : “ Ini penetapan engkat untuk menduduki
Qadli ibu kota saya dan sekitarnya, maka itu laksanakanlah !” Adapun Imam Abu
Hanifah tidak mau menerima jabatan apapun. Baginda memerintahkan kepada
pengawalnya, agar mengantarkan mereka ke tempat masing-masing, dan berkata pula
kepada pengawalnya : “Barangsiapa menolak jabatan yang telah saya berikan ini,
maka pukullah dia seratus kali pukul dengan cemeti.”
Imam Syarik menerima jabatan itu, dan Imam Sufyan lalu
melarikan diri ke Yaman, dan Imam Abu Hanifah tidak mau menerima jabatan dan
tidak pula melarikan diri. Sebab itu ia tetap dimasukkan ke dalam penjara dan
dijatuhi hukuman seperti yang telah diperintahkan oleh baginda Al Manshur.
Yakni, setiap pagi, di dalam penjara, ia dicambuk dan leher sang Imam dikalungi
dengan rantai besi yang berat.
Ada riwayat yang menyebutkan, al-Manshur pun pernah
menggunakan jasa Ibu Abu Hanifah yang berusia lanjut untuk membujuk anaknya,
agar bersedia menerima tawaran jabatan yang diberikan Kepala Negara. Pada setiap
pagi, sang Ibu datang membujuk anaknya. Tetapi segala macam bujukan dan daya
upaya sang ibu tadi senantiasa ditolak dengan keterangan yang baik. Pada suatu
hari sang ibu pernah berkata kepada anaknya: “Wahai Nu’man! Anakku yang
kucintai! Buanglah dan lemparlah jauh-jauh pengetahuan yang telah engkau punyai
itu. Karena tidak ada lain yang kau dapati selama ini, melainkan penjara,
pukulan, cambuk dan rantai besi itu.!”
Perkataan sang Ibu yang sedemikian itu, hanya
dijawaboleh sang Imam dengan lemah lembut dan senyuman manis: “Oo, ibu! Jika
saya menghendaki akan keridhaan Allah swt seemata-mata dan memelihara ilmu
pengetahuan yang telah saya dapati, saya tidak akan memalingkan pengetahuan yang
selama ini saya pelihara kepada kebinasaan yang dimurkai oleh Allah
swt.
Demikianlah, sang Imam tetap gigih dalam pendiriannya,
meskipun harus menghadapi hukuman yang sangat memilukan. Setiap pagi, ia selalu
menerima hukuman seberat itu. Tapi, al-Manshur tidak puas dengan hukuman yang
dibjatuhkannya. Maka, suatu ketika, Imam Hanafy dipanggil oleh baginda supaya
menghadapnya. Kemudian ia ia datang menghadap. Ketika itulah sang Imam disuguhi
segelas minuman beracun. Tak lama, sesudah kembali ke dalam penjara, sang Imam
menghadap kepada Allah swt. “Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un!.”
Beliau wafat di usia 70 tahun. Wafat di penjara, dalam
kehidupan yang ia pi8lih sendiri, karena menolak jabatan yang ditawarkan
kepadanya. Hasan bin Imarah, yang memimpin prosesi pemandian jenazah sang Imam,
berkata: “Mudah-mudahan Allah mengasihani engkau dan mengampuni semua
kesalahan engkau, wahai orang yang senantiasa merasakan lapar selama tiga puluh
tahun! Demi Allah, sesungguhnya engkau seorang yang menyusahkan orang banyak di
masa kemudian engkau!.”
Tentu, sikap sang Imam memamg sangat luar biasa. Ia
tidak tergoda oleh kekuasaan. Bahkan rela menerima hukuman ketimbang memegang
jabatan tinggi yang ditawarkan padanya. Ia tidak gila jabatan. Sang Imam
bersyukur dan bangga dengan kedudukannya sebagai seorang berilmu. Beliau tidak
mengharamkan jabatan itu. Tetapi, beliau enggan menerima jabatan itu untuk
dirinya.
Sepanjang riwayat yang boleh dipercaya, bahwa ketika
telah merasa bahwa dirinya akan sampai ke ajalnya, sang Imam bersujud kepada
Allah. Seketika itu wafatlah beliau dalam bersujud dengan khusyu’nya. Jenazahnya
kemudian dimakamkan di pemakaman Al-Khaizaran, Baghdad.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dan teladan dari
Kisah Sang Imam Abu Hanifah! Islam tidak mengharamkan jabatan dan harta. Tetapi,
Imam Abu Hanifah memberikan keteladanan, bahwa dunia adalah hal ”remeh” di
matanya. Akhirat adalah kehidupan dan tujuan yang hakiki. Imam Hanafy telah
memberikan teladan yang luar biasa dalam tradisi keilmuan Islam. Sang Imam
memberikan teladan, betapa mulianya kedudukan ilmu dan ulama, dibandingkan
dengan kekuasaan. Sang Imam adalah ulama yang patut diteladani sepanjang masa.
(Disarikan dari buku Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab karya K.H.
Moenawar Cholil (Jakarta: Bulan Bintang, cet. kesembilan,
1994)).
No comments:
Post a Comment