Sunday, July 31, 2016

Tafsir Kolektif Tematis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tafsir tematik ditengarai sebagai metode alternatif yang paling sesuai dengan kebutuhan umat saat ini. Selain diharapakan dapat memberi jawaban atas pelbagai problematika umat, metode tematik dipandang sebagai yang paling obyektif. Sebab melalui metode ini seolah penafsir mempersilahkan Al-Quran berbicara sendiri menyangkut berbagai permasalahan. Istanthiq al¬qur'an (ajaklah Al-Quran berbicara), demikian ungkapan yang sering dikumandangkan para pendukung metode ini. Dalam metode ini, penafsir yang hidup di tengah realita kehidupan dengan sejumlah pengalaman manusia duduk bersimpuh di hadapan Al-Quran untuk berdialog; mengajukan persoalan dan berusaha menemukan jawabannya dari Al-Quran.

     Dikatakan obyektif karena sesuai maknanya, kata al-mawdhu' berarti sesuatu yang ditetapkan di sebuah tempat, dan tidak ke mana-mana. Seorang mufassir mawdhu'iy ketika menjelaskan pesan-pesan Al-Quran terikat dengan makna dan permasalahan tertentu yang terkait, dengan menetapkan setiap ayat pada tempatnya. Kendati kata al-mawdhu' dan derivasinya sering digunakan untuk beberapa hal negatif seperti hadis palsu (hadis mawdhu), atau tawadhu` yang asalnya bermakna al-tadzallul (terhinakan), tetapi dari 24 kali pengulangan kata ini dan derivasinya kita temukan juga digunakan untuk hal-hal positif seperti Peletakan ka` bah, Al-Quran Surat Al-ali Imran ; 96),

Artinya : Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Timbangan/ al-Mizan (Q.,.s. Al-Rahman ;7)


Artinya :Dan Allah Telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan).
dan Benda-benda surga (Q.,.s Al¬- Ghasyiyah ; 13 dan 14).
Artinya :Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, Dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya),
   
    Dengan demikian tidak ada hambatan psikologis untuk menggunakan istilah ini (al-Tafsir al-Mawdhu' iyy) seperti dikhawatir¬kan oleh dosen penulis di Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Sattar Fathullah.
     
      Metode ini lahir untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada khazanah tafsir klasik yang didominasi oleh pendekatan tahliliy, yaitu menafsirkan Al-Quran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf." Segala segi yang dianggap perlu oleh sang mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal-dengan metode tahlily atau tajzi'iy dalam istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini.

       Kritik yang sering ditujukan pada metode ini adalah karena dianggap menghasilkari pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Al-Quran digunakan sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis.

    Di samping itu cukup banyak karya-karya para ulama dalam menterjemahkan ayat-ayat al-Quran ke bahasa yang berbeda-beda. Tradisi terjemahan dalam penyebaran ilmu pengetahuan adalah kenyataan yang tidak dapat dihindarkan termasuk proses penyebaran agama Islam di Indonesia. Semua karya dalam bahasa.asal berbahasa Arab dialihbahasakan oleh ulama ke dalam bahasa lokal.

   Terjemah sebagai aktivitas ilmiah sudah sejak lama dikenal, meskipun sulit menentukan awal sejarah munculnya, namun bisa kita katakan terjemah muncul sejalan dengan timbulnya kebutuhan manusia terhadap sarana yang bisa membantu mereka berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda bahasa, sehingga mereka bisa berinteraksi dalam semua aspek kehidupan. Sampai saat ini aktivitas terjemah dianggap sebagai tulang punggung dari berbagai kegiatan di organisasi internasional, asosiasi kantor berita internasional, lembaga diplomatik, export import, perdagangan, pusat-pusat penelitian ilmiah, lembaga inteligent transportasi, pariwisata, mass media cetak maupun elektronik, dan lain-lain.

    Begitu kuatnya cakupan pemanfaatan terjemah, sehingga ada lembaga atau institusi yang khusus mendidik calon-calon penerjemah yang handal.


SEJARAH DAN PENERAPAN
TAFSIR TEMATIS

A. Sejarah dan Perkembangannya

Usaha-usaha untuk menafsirkan Al-Qur'an su¬dah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW-lah yang mempunyai otoritas dan tugas utama dalam menjelaskan wahyu Allah SWT. Oleh karena itu, penafsiran yang paling benar adalah penafsiran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam periode selanjutnya, setelah Nabi SAW meninggal dunia, dikenal sepuluh sahabat yang ahli menafsirkan Al-Qur'an. Mereka itu adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, *Usman bin Affan, *Ali bin Abi Talib, Ibnu Mas'ud, Abdullah bin Abbas (3 SH-68 H/687 M), Ubay bin Ka'ab (w. 19 H/640 M), Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy'ari, dan Abdullah bin Zubair. Di antara sepuluh sahabat tersebut, yang sangat layak dinamakan mufasir adalah Abdullah bin Abbas. Nabi SAW menamainya Tarjuman Al-Qur'an (Juru bicara AI-Qur'an). Sahabat lain yang juga diterima tafsirnya adalah Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khattab, Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 78 H/698 M), dan Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Namun, tafsir yang diterima dari mereka tidak sebanyak yang di¬terima dari sepuluh sahabat yang disebutkan di atas.

Tafsir para sahabat ini selanjutnya terkenal di berbagai kota. Maka muncullah di Mekah tabaqat mufassirin (generasi-generasi penafsir Al-Qur'an) yang bersumber dari Abdullah bin Abbas. Tafsir Ibnu Abbas kemudian dikembangkan oleh murid¬-muridnya, seperti Sa'id bin Jabir, Mujahid, Ata` bin Abi Rabah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Tawus bin Kaisan al-Yamani. Di Kufah muncul tabaqat lain yang bersumber dari Ibnu Mas'ud. Di Madinah ada pula tabaqat dengan para mufasirnya, antara lain Zaid bin Aslam. Tafsirnya diriwayatkan oleh anaknya, Abdur Rahman bin Aslam, dan Imam Malik bin Anas (Imam Malik). Dari tabiin ini lahir lagi mufasir dari tabi`it tabiin. Yang termasyhur di antaranya adalah Imam Sufyan bin Uyainah, Waki' al-Jarrah, Syu'bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun, dan Abd bin Humaid. Mereka inilah perintis jalan bagi Abu Ja'far Muhammad bin Jarir at-Tabari yang dianggap sebagai pemuka dari segala ahli taf¬sir dan merupakan sumber bagi tafsir-tafsir sesu¬dahnya.

Apabila sejak zaman sahabat sampai dengan za¬man at-Tabari penafsiran ayat dilakukan dengan cara menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al¬Qur'an dengan hadis-hadis Nabi SAW, ataupun Al-Qur'an dengan ijtihad sahabat, maka pada za¬man sesudah at-Tabari timbullah berbagai penaf¬siran, aliran, dan berbagai pendapat. Tafsir yang disandarkan kepada ayat, hadis atau perkataan sa¬habat tersebut dikenal dengan sebutan Tafsir bi al-Ma'sur. Penafsiran yang disebut terakhir di-namai Tafsir bi ar-Ra'yi. Kitab Tafsir bi al-Ma'sur yang tertua dan paling tinggi nilainya adalah kitab Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an (Himpunan Pen¬jelasan dalam Tafsir Al-Qur'an) yang ditulis oleh Muhammad bin Jarir at-Tabari.

Cara menafsirkan ayat yang dilakukan oleh at¬Tabari diikuti oleh Ibnu Kasir dalam tafsirnya Taf¬sir AI-Qur'an al-Azim (Tafsir Al-Qur'an yang Agung) dan oleh as-Suyuti dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mansur fi Tafsir bi al-Ma'sur (Permata yang Bertebaran dalam Tafsir Berdasarkan Riwa¬yat). Setelah zaman at-Tabari, tafsir sudah bercam¬pur dengan pendapat-pendapat pribadi para mufasir. Bahkan mereka sudah mulai melakukan penafsiran dengan menggunakan akal, sehingga ada penaf¬siran ayat yang keluar dari makna kata. Hal ini terjadi karena pengaruh pendapat pribadi, ilmu pengetahuan, dan perkembangan zaman. Tafsir yang disandarkan kepada pendapat akal inilah yang kemudian disebut dengan Tafsir bi ar-Ra'yi.

      Para ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir fi ar-Ra'yi. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang membolehkannya. Yang mengharamkan di antaranya adalah Sa'id bin Musayyab, ulama dari kalangan tabiin, dan yang membolehkan di antaranya Mujahid bin Jabir, ulama dari kalang¬an tabiin  dan ulama-ulama dari kalangan Muktazilah, seperti al-Jahiz Abu Usman bin Bahar  dan an-Nazzam. Pada hakikatnya perbedaan itu berkisar sekitar apakah penafsiran yang dilakukan melalui pendapat akal semata tanpa memperhatikan kai-dah-kaidah bahasa, prinsip-prinsip syarak (hukum Islam), dan lain sebagainya, dapat dikatakan telah memenuhi apa yang dikehendaki Allah SWT. Na¬mun, apabila penggunaan akal tersebut disertai dengan syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang mufasir, maka tidak ada halangan menafsirkan Al¬Qur'an dengan rakyu (akal). Bahkan Al-Qur'an sa¬ngat menganjurkan untuk mempergunakan ijtihad dalam memahami ayat-ayat-Nya dan ajaran-ajar¬an-Nya.

Pada periode ini bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan bahasa, ilmu pengetahuan, fikih, sejarah, tasa¬wuf, dan teologi. Untuk dapat menerima penaf¬siran melalui Tafsir bi ar-Ra'yi, az-Zarkasyi (ahli tafsir) mengemukakan sekurang-kurangnya ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

(1) rakyu tersebut merupakan nukilan dari Rasulullah SAW, dengan tetap memperhatikan nilai nukilan terse¬but;
(2) rakyu tersebut terambil dari perkataan sahabat;
(3) mempertahankan prinsip-prinsip ke¬bahasaan; dan
(4) berpedoman pada arti kalimat yang sesuai dengan ketentuan syarak.

Contoh tafsir yang memenuhi syarat-syarat tersebut adalah Mafatih al-Gaib (Penyingkap-Penyingkap Alam Gaib) oleh Fakhruddin ar-Razi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil (Cahaya-Cahaya Wahyu dan Rahasia-Rahasia Maknanya) oleh Abdullah bin Umar al-Baidawi, Irsyad al-Aql as-Salim ila Ma¬zaya Al-Qur'an al-Karim (Petunjuk Akal Sehat kepada Keistimewaan Al-Qur'an yang Mulia) oleh at-Tahawi yang dikenal dengan Abi Mas'ud, Ma¬darik at-Tanzil wa Haqa'iq at-Ta'wil (Pengetahuan tentang Wahyu dan Hakikat-Hakikat Maknanya) oleh Abdullah an-Nasafi, dan Lubab at-Ta'wil fi Ma'anin at-Tanzil (Rahasia Makna-Makna Wahyu) oleh Alauddin al-Khazin.

Dalam perkembangan selanjutnya ditemui taf¬sir-tafsir yang menitikberatkan pembahasan pada masalah-masalah tertentu, yang dibahas secara tuntas dan menyeluruh. Tafsir dengan metode ini dikenal dengan Tafsir Maudu`i (tafsir tematis). Pada zaman modern ini dikenal pula tafsir yang dilakukan dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Tafsir ini dikenal dengan Tafsir al-`Ilmi (tafsir berdasarkan suatu disiplin ilmu) dan salah satu di an¬taranya yang paling terkenal adalah tafsir Fakhruddin ar-Razi dengan nama Mafatih al-Gaib yang dise¬butkan di atas.

Pengembangan pendekatan atau metode tafsir dilanjutkan oleh Muhammad Abduh dalam tafsir¬nya, al-Manar (Tempat Cahaya), yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Rida, dan selanjutnya oleh Mustafa al-Maragi. Pendekatan yang mereka lakukan adalah pende¬katan yang disebut dengan al-minhaj al-adabi al-ij¬tima'i (metode pendekatan kebahasaan dan sosial budaya). Metode ini berusaha untuk meneliti re-daksi ayat secara cermat, kemudian menghubung¬kannya dengan kehidupan sosial budaya masya¬rakat.

Kitab-kitab tafsir yang tergolong dalam Tafsir bi al-Ma'sur antara lain adalah Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an oleh Imam at-Tabari, Bahr al-Ulum (Sa¬mudera Ilmu) oleh Nasr bin Muhammad as-Samar¬qandi, al-Kasyf wa al-Bayan `an Tafsir AI-Qur'an (Penyingkap Tabir dan Penjelasan Tafsir Al-¬Qur'an) oleh Abu Ishaq as-Sa'labi, Ma'alim at-Tan¬zi1 (Khazanah Ilmu tentang Wahyu) oleh Muham¬mad al-Husain al-Bagawi, al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-`Aziz (Ungkapan-Ungkapan Sing¬kat tentang Kitab yang Mulia) oleh Abu Muham¬mad al-Andalusi, Tafsir Al-Qur'an al-Azim (Tafsir Al-Qur'an yang Mulia) oleh Ibnu Kasir, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir Al-Qur'an (Permata-Permata Ke¬baikan dalam Tafsir Berdasarkan Riwayat) oleh Abu Zaid as-Sa'alibi, dan ad-Durr al-Mansur fi at¬-Tafsir bi al-Ma'sur oleh Jalaluddin as-Suyuti.

Adapun kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam Tafsir bi ar-Ra`yi antara lain adalah al-Bahr al¬-Muhit (Samudera yang Dalam) oleh Muhammad al-Andalusi, Gara'ib AI-Qur'an wa Raga'ib al-Fur¬qan oleh Nizamuddin an-Naisabur, dan Ruh al¬-Ma'ani fi Tafsir AI-Qur'an al-Azim wa as-Sab`al¬ Masani (Semangat-Semangat Makna dalam Tafsir Al-Qur'an dan Surah al-Fatihah) oleh Allamah al-Alusi. Wahyu dan Sumber Pendapat pada Tafsir Makna Al-Qur'an oleh Abu al-Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari.

Di samping itu banyak terdapat kitab-kitab tafsir dalam bidang tasawuf, filsafat, dan hukum yang mengkhususkan diri di bidang hukum, umpamanya Imam al-Qurtubi dengan tafsirnya al-Jami` fi Ahkam Al-Qur'an (Himpunan Hukum dalam Al¬-Qur'an), Ibnu Arabi dan Abu Bakar al-Jassas ma¬sing-masing dengan tafsirnya yang berjudul Ahkam Al-Qur'an (Hukum-Hukum dalam Al-Qur'an), Muhammad Ali as-Sabuni dengan tafsirnya Rawa'i ` al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an (Penjelasan Indah dari Tafsir Al-Qur'an), dan Muhammad Ali as-Sayyis dengan Tafsir Ayat al Ahkam (Tafsir Ayat-Ayat Hukum).

Sampai pada awal abad modern, penafsiran dengan berdasarkan urutan mushaf masih mendominasi. Tafsir al-Manar, yang dikatakan Ibnu Asyur sebagai karya trio reformis dunia islam; Afghani, Abduh dan Ridhab, disusun dengan metode tersebut. Demikian pula karya-karya reformis lainnya seperti al-Qasimi, al-Maraghy, Ben Badis dan Izzat Darwaza. Yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Jarang sekali ditemukan dalam karya mereka pembahasan gramatikal yang bertele-tele. Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke fokus permasalahan yaitu menuntaskan persoalan umat. Karya-karya modern, meskiy banyak yang disusun sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar.

    Kendati istilah tafsir tematik baru populer pada abad ke-20, tepatnya ketika ditetapkan sebagai mata kuliah di Fakultas Ushuluddin Universitas al-¬Azhar pada tahun 70-an, tetapi embrio tafsir tematik sudah lama muncul.

    Bentuk penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran (tafsir al-Qur'an bi al-Quran) atau Al-Quran dengan penjelasan hadits (tafsir al-Qur`an bi al-Sunnah) yang telah ada sejak masa Rasulullah disinyalir banyak pakar sebagai bentuk awal tafsir tematik. Demikian pula karya-karya ulama klasik yang mengelompok¬kan satu permasalahan tertentu dalam Al-Quran dipandang sebagai bentuk awal tafsir tematik. Sekadar menyebut contoh ; Ta'wil Murykil al-Qur an karya Ibnu Qutaibah, Nuzhat al-Qulub fi Gharib al-Qur an, karya Abu Bakar al-Sijistani, al-Tibyan fi Aqsam al-Qur'an karya Ibnu al-Qayyim dan lainnya.

    Abdul Sattar Said memasukkan ketiga karya di atas dan lainnya yang sejenis ke dalam kelompok tafsir mawdhu'iyy umum (al-'Amm), yaitu tematis yang hanya didasari kesamaan tema, bukan keterkaitan pembahasan, antara satu ayat dengan lainnya, menyangkut tema yang sama. Sementara itu M. Baqir al-Shadr tidak menyebutnya sebagai tafsir mawdhu'iyy (tawhidiyy), sebab karya tersebut hanya mengumpulkan beberapa persoalan tafsir tahliliy (tajzi'iyy) yang memiliki kemiripan antara satu dengan lainnya. Kajian tematis bukan hanya sekadar persoalan mengumpulkan yang serupa, tetapi mengetengahkan persoalan/ tema-tema kehidupan yang menyangkut masalah (akidah, sosial dan alam), dan mengkaji secara mendalam dari sudut pandang Al-Quran untuk menemukan sebuah konsep qur'aniyy menyangkut persoalan tersebut. (Al -Madrasah al-Qur'aniyyah, hal. 27)    Selain itu sebagian mufassir dan ulama klasik seperti al-Razy, Abu Hayyan dan al-Biqa'iy telah mengisyaratkan perlunya pemahaman ayat-ayat Al-Quran secara utuh.

    Di awal abad modern, M. Abduh dalam beberapa karyanya telah menekankan kesatuan tema-tema Al-Quran. Namun gagasannya tersebut baru diwujudkan oleh murid-muridnya seperti M. Abdullah Diraz dan Mahmud Syaltout.

    Kesatuan tema-tema Al-Quran merupakan sumber inspirasi  para mufassir untuk menghadirkan pesan-pesan Al-Quran secara tematis. Kesatuan tema tersebut dapat disimpulkan dengan mengamati keseluruhan ayat-ayat Al-Quran, dan ayat-ayat yang ada dalam sebuah surah Al-Quran. Karena itu setidaknya tafsir tematis mengambil dua bentuk ; pertama : umum, yaitu mengurai sebuah tema dengan menelusuri ayat-ayat yang berkenaan dengan itu dari keseluruhan ayat Al-Quran. Bentuk ini adalah yang paling populer sebagai tafsir tematis. Kedua : bentuk khusus, yaitu mengurai tema dan tujuan pokok ayat-ayat Al-Quran yang terhimpun dalam sebuah surah. Bentuk kedua inilah yang dilakukan oleh M. Abdullah Diraz dalam bukunya Al-Naba' al-Azhim, Mahmoud Syaltout dalam Ilal Qur'an al-Karim dan Abdul Hayy al-Farmawi dalam Mafatih al-¬Suwar. Menurut Diraz, setiap surah Al-Quran terdiri atas ; mukaddimah, batang tubuh (isi) dan khatimah (penutup) (Al-Naba al-Azhim, Mathba'ah al-Sa'adah, Mesir, 1960, hal. 159).

    Pendekatan hermeneutika Barat yang diadopsi al-Khuli dalam ittijah adaby-nya° sebenarnya juga menitikberatkan pemahaman kesatuan teks-teks kitab suci. Al-Khuli misalnya menyatakan, "Yang ideal adalah menafsirkan Al-Quran secara tematis, tidak menurut urutan mushaf" . Pernyataan metode bayaniy (adabiy) Al-Khuli mengadopsi Hermeneutika Barat (Schleirmacher) dikemukakan oleh Sayyed Ahmad Khalil, Guru Besar sastera Arab Universitas Alexandria, dalam bukunya Diratsat fi al-Qur'an, hal. 148

    Di Indonesia, metode ini diperkenalkan dengan baik oleh Prof. M. Quraish Shihab. Melalui beberapa karyanya ia memperkenalkan metode ini secara teoritis maupun praktis. Karya-karyanya kerpudian diikuti oleh para mahasiswanya dalam bentuk tesis dan disertasi di perguruan tinggi Islam. Secara teori M. Quraish Shihab memperkenalkan metode ini "am tulisannya, "Metode Tafsir' Tematik" dalam bukunya 'Membumikan Al-Quran" (Bandung : Penerbit Mizan, Cet. I, Mei 1992), hal. 111. Dan secara praktis, beliau memperkenalkannya dengan baik dalam buku Wawasan Al-Quran, Secercah Cahaya Ilahi, Menabur Pesan Ilahi dan lain sebagainya.

    Melihat pentingnya karya tafsir termatis, Departemen Agama RI, seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI, Nomor BD/38/2007, tanggal 30 Maret 2007, telah membentuk tim pelaksana kegiatan penyusunan tafsir tematik, sebagai wujud pelaksanaan rekomendasi Musyawarah Kerja Ulama Al-Quran tanggal 8-10 Mei 2006 di Yogyakarta dan 14-16 Desember 2006 di Ciloto. Kalau sebelumnya tafsir tematis berkembang melalui karya individual, kali ini Departemen Agama RI menggagas agar terwujud sebuah karya tafsir tematis yang disusun oleh sebuah tim sebagai karya bersama (kolektif). Ini adalah bagian dari ijtihad jama'iyy dalam bidang tafsir. Harapan terwujudnya tafsir tematis kolektif seperti ini sebelumnya pernah disampaikan oleh mantan Sekjen Lembaga Riset Islam (Majma' al¬-Buhuts al-Islamiyyah) Al-Azhar di tahun tujuh puluhan, Prof. Dr. Syeikh M. Abdurrahman Bishar. Dalam kata pengantarnya atas   buku   Al-Insan fi al¬-Qur'an,    karya Dr. Ahmad Mihana, Syeikh Bishar mengatakan : "Sejujurnya dan dengan hati yang tulus kami mendambakan usaha para ulama dan ahli, baik secara individu maupun kolektif,, untuk mengembangkan bentuk tafsir tematis, sehingga dapat melengkapi khazanah kajian Al-quran yang ada . Sampai saat ini, telah bermunculan karya tafsir tematis  yang bersifat individual dari ulama-ulama Al-Azhar, namun belum satu pun lahir karya tafsir tematik kolektif.

    Sejauh ini, penulis masih belum melihat pagar-pagar metodologis yang kuat dalam pengembangan metode ini di perguruan tinggi Islam Indonesia. Sehingga kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, tingginya subyektifitas penafsir, penafsiran yang mengikat generasi berikut, sebagai justifikasi pendapat mufasir juga akan dialaminya. Karena ini penulis dapat memahami jika ada beberapa guru besar yang berkeberatan dengan metode ini untuk diaplikasikan dalam tesis dan disertasi.
B.  Penerapan Tafsir Tematis

Menurut Dr Muchlis M. Hanafi, MA dalam makalahnya Menggagas Tafsir Kolektif Tematis pada Diklat Penyuluh Ahli Madya Jakarta ( 21 Februari 2008) menyebutkan bahwa ada beberapa catatan tentang gagasan tafsir tematis sebagai berikut :

1. Prof. M. Quraish Shihab memberikan ilustrasi metode maudhi'iy (tahlily) sebagai penyajian makanan dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu'iy (tematis) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut penyelesaian cepat. Maka maudhu'iy tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu diingat, kotak-kotak makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan kateringnya. Yang membaca karya-¬karya tematis M. Quraish Shihab dan Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Al-quran nya akan dapat merasakan kualitas `katering' masing-masing. Untuk itu prasyarat keilmuan (kebahasaan, ulum syar' iyyah dan waqi'iyyah) dan amaliah yang ditetapkan para ulama layak untuk mendapat perhatian dari seseorang yang menafsirkan Al-Quran secara tematis.

       AI-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebutkan 15 disiplin ilmu yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan menafsirkan Al-Quran, yaitu : 1) bahasa Arab; 2) Nahwu; 3) Sharaf; 4) Isytiqaq; 5) Ilmu al-Ma'aniy; 6) Ilmu al-Bay"an; 7) Ilmu al-Badi'; 8) Ilmu Qira'at; 9)Ushuluddin; 10) Ushul Fiqih ; 11) Asbab al-Nuzul; 12) al-Nasikh wa al-Mansukh; 13) Fikih ; 14) Ilmu 4adis; dan 15) IImu Mawhibah. Al-Itqanfz 'Mm al-Qur'an (Lebanon: Dar al-Fikr, Cet. I, 1996), hal: 4/185.

       Prasyarat keilmuan seorang mufassir tidak terbatas pada yang 15 di atas, tetapi mencakup ilmu-ilmu lain yang berkembang kemudian, dan dapat membantu proses penafsiran (terutama di masa kini) seperti sosiologi, antropologi, psikologi, kedokteran dan lain sebagainya.

      Prasyarat amaliyah dimaksud adalah memiliki akidah yang benar dan selalu komitmen dengan ajaran Islam, serta keikhlasan yang tinggi dengan menjadikan usahanya dalatn menafsirkan Al-Quran semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah.

       Syarat tersebut tidak bersifat mutlak. Saat ini, sebagian kalangan orientalis, yang umumnya tidak berakidah Islam melakukan kajian terhadap Al-quran secara obyektif dan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan kajian Al-quran. Namun harus diakui, kelompok orientalis yang obyektif dalam kajiannya (al-munshifun) terhadap Islam, jauh lebih sedikit daripada mereka yang berusaha mencari celah kekurangan dan kelemahan yang ada dalam Al-quran dan hadits. Ini yang mengharuskan kita berhati-hati dalam mencerna hasil kajian mereka.

2. Problematika umat yang sangat mendesak untuk dicarikan solusinya saat ini antara lain yarig terkait dengan masalah-masalah sosial. Tafsir tematik diharapkan dapat memberi kontribusi di sini. Untuk itu diperlukan pisau analisis sosial, budaya, antropologi dan psikologi. Seseorang yang akan menulis tentang konsep perubahan dalam Al-quran diharuskan menguasi teori-teori sosial.

              Menurut Muchlis M.Hanafi jika ini terlampau jauh dilakukan, mufasir tematik akan terjebak pada kesalahan yang sering dialami oleh mufassir ilmiah, yaitu menjadikan sebuah teori yang belum mapan untuk menafsirkan teks yang mapan, sehingga perubahan dan perkembangan teori akan berdampak pada anggapan teks yang keliru. Apalagi teori-teori ilmu sosial sangat rentan terhadap relatifitas dan subyektifitas. Yang juga akan terjadi, pra-asumsi mufassir terhadap suatu masalah menjadi dominan, sehingga Al-quran cenderung hanya akan menjadi alat legitimasi.

             Memahami teori-teori itu sangat baik, tetapi menjadikannya acuan untuk menganalisa akan menghilangkan obyektifitas yang sangat diharapkan dari sebuah tafsir tematik. Tafsir tematik adalah sebuah metode induktif (istiqra' iy) yang berusaha untuk menarik kesimpulan yang berupa solusi permasalahan dari berbagai isyarat yang berserakan di berbagai tempat.

3. Subyektifitas tafsir tematik yang berkembang di tanah air terlihat juga dalam pemilihan topik/tema. Ketika berkembang wacana pluralisme agama, misalnya,kata didapati seorang mahasiswa yang mengajukan proposal disertasi dengan tema pluralisme agama dalam Al-quran. Di sini akan sangat mudah mufassir tematik untuk terjebak pada subyektifitas; antara mendukung atau menolaknya. Sebab pluralisme adalah kebenarannya dipertanyakan banyak orang. Untuk menghindari subyektifitas yang berlebihan, sedapat mungkin tema yang diangkat tidak keluar dari kosa kata atau derivasinya yang digunakan oleh Al-quran.

 4. Kendati berbeda dengan metode-metode lain seperti tahlily, muqdran dan ijmaliy, tetapi seorang mufassir tematis (mawdhu'iy) dituntut untuk tetap menggunakan metode-metode lain. Perbedaan metode itu bersifat variatif, dan bukan kontradiktif. Ketika membahas suatu masalah dan berkaitan dengan penjelasan kata atau kalimat, seorang mufassir mawdhu'iy juga harus merujuk ke karya-karya tafsir tahliliy. Demikian pula ketika menemukan keragaman pandangan mufassir dalam suatu masalah dan mengharuskannya memilih/ mentarjih, maka metode muqarin juga harus ditempuh. Untuk itu kemampuan menguasai kitab-kitab tafsir klasik mutlak diperlukan.

5.   Seperti diketahui, tafsir tematik memiliki dua bentuk:
      Pertama: menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu topik tertentu, baik dari keseluruhan surah-surah Al-quran maupun satu surah tertentu; Kedua : tafsir yang berusaha menyimpulkan kesatuan ide atau gagasan dalam satu surah Al-quran. Agaknya bentuk kedua ini belum banyak mendapat perhatian dari para ulama klasik maupun kontemporer, termasuk di Indonesia.

       Diantara ulama yang memberi perhatian terhadap bentuk kedua ini, Al-Biqa'iy dalam Masha' id al-Nazhar fi Maqashid al¬-Suwar, Sayyid Quthub dalam Fi Zhilal al-Qur'an, Abdullah Diraz dalam al-Naba al- 'Azhim", Abdu1lah Shahatah dalam Ahdaf kulli Surah wa Maqashiduha fi al-Qur'an al-Karim, Abdul Hayy al-Farmawi dalam Mafatih al-Suwar dan lainnya.

6. Seorang Mufassir maudhu'i akan menarik kesimpulan berupa kaidah atau konsep qur'ani dari berbagai ayat yang dikumpulkan dan dikajinya berkenaan dengan suatu topik permasalahan. Untuk itu diperlukan pandangan komprehensif, kerendahan hati dan sikap tidak tergesa-gesa dalam membuat kesimpulan sehingga tidak terjebak pada kekeliruan yang pernah dialami oleh para ulama terdahulu.

      Kekeliruan dimaksud misalnya seperti terjadi pada kaidah yang sering dikemukakan para mufassir, yaitu : "Kata rih (angin) jika disebut dalam bentuk jamak (plural/ riyah) maka berarti rahmat/ kebaikan, dan jika disebut dalam bentuk mufrad (single/ rih) maka berarti azab" (Lihat : Al-Itqan, hal. 1/144.

       Sebagian ulama bahkan menisbatkan kaidah tersebut kepada sahabat Ubay bin Ka'b (Al-Itqan 1/192).

       Dengan menelusuri ayat-ayat tentang rih dan riyah dalam Al-quran secara tematis, kata itu disebut dalam bentuk mufrad sebanyak 19 kali, tujuh di antaranya (lebih dari sepertiga) dalam konteks kebaikan dan rahmat. Lihat : Q.,s. Yunus ; 22, Q.,s. Al-Syura : 33, Q.,s. Yusuf : 94, Q.,s. Al-Anbiya : 81, Q.,s. Saba : 12, Q.,s. Shad : 36, Q.,s. AI-Anfal : 46. Sedangkan dalam bentuk jamak (riyah) tersebut sebanyak 10 kali, semuanya dalam konteks kebaikan, kecuali satu ayat dalam Q.,s. Al-Kahf : 45 ( fa ashbaha hasyiman tadzruhu al-riyah) yang memiliki dua kemungkinan; rahmat atau azab, sebab dalam qiraat lain (tujuh yang mutawatir/ Hamzah dan Kisa'iy) al-riyah dalam ayat itu juga dibaca dengan al-rih (mufrad).


PENYUSUNAN TAFSIR TEMATIS

A. Langkah-langkah Penyusunan Tafsir Tematis

       Dalam Musyawarah Ulama Al-Qur' an, tanggal 14-16 Desember 2006, di Ciloto, disepakati beberapa langkah yang ditempuh dalam penyusunan tafsir tematik, yaitu :

1. Menentukan topik atau tema yang akan dibahas.
2. Menghimpun ayat-ayat menyangkut topik yang akan dibahas.
3. Menyusun urutan ayat sesuai masa turunnya.
4. Memahami korelasi (munasabah) antar ayat.
5. Memperhatikan sebab nuzul untuk memahami kontek ayat
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis dan pendapat para ulama
7. Mempelajari ayat-ayat secara mendalam
8. Menganilisis ayat-ayat secara utuh dan komprehensif dengan jalan mengkompromikan antara yang 'am dan khash, yang muthlaq dan muqayyad dan lain sebagainya. '
9. Membuat kesimpulan dari masalah yang dibahas.

   Kesembilan langkah di atas masih bersifat teoritis dan global, karena itu perlu penjelasan lebih lanjut.
1.   Menentukan topik atau tema yang akan dibahas.
      Melalui tafsir tematis diharapkan lahir konsep-konsep Al-quran menyangkut berbagai permasalahan aktual. Seorang mufassir maudhu'iy (tematis) berusaha untuk berangkat dari Al-quran dalam memberikan solusi bagi persoalan-persoalan yang timbul di tengah masyarakat. Subyektifitas mufassir dalam menyuguhkan konsep qura'niy memang tidak bisa dielakkan, tetapi dapat diminamilisir, antara lain dengan memilih topik atau tema dari idiom atau kosa kata yang digunakan Al-Quran. Menggunakan idiom syura lebih tepat kiranya dari pada demokrasi yang memiliki pengertian berbeda dengan syura yang merupakan konsep qur'aniy. Penggunaan lafal tertentu dalam Al-quran memiliki rahasia tersendiri yang harus dicari oleh seseorang yang berusaha menangkap makna pesan Tuhan. Karena itu terbatas, sedangkan permasalahan masyarakat selalu berkembang, maka dimungkinkan untuk menentukan tema dengan mengambil inspirasi dari pemaparan Al-quran menyangkut suatu masalah.

       Misalnya, dengan mengamati kehancuran umat-umat terdahulu dapat ditentukan sebuah tema seperti "jatuh-bangunnya sebuah peradaban". Tema-tema yang disajikan Al-Quran beragam; ada yang sangat luas seperti masalah akidah (keesaan dan kekuasaan Tuhan dan lainnya), dan ada yang dalam bentuk isyarat singkat seperti korupsi yang diisyaratkan dalam ayat-ayat tentang larangan memakan harta secara tidak haq. Karena itu, panjang dan pendeknya pembahasan dalam tafsir tematik akan beragam, sesuai uraian yang ada dalam Al-Quran. Jika ada yang dianggap akan terlalu panjang, tema tersebut dapat dibagi atau dipecah dalam beberapa tema yang lebih fokus lagi.
3. Menghimpun ayat-ayat menyangkut topik yang akan dibahas.

        Ini bisa dilakukan dengan menginventarisir ayat-ayat terkait melalui beberapa kamus (Ma 'ajim) Al-Quran seperti Al Mu 'jam al-Mufahras Ii Alfazh al-Qur'an al-Karim karya M. Fuad Abdul Baqi, Mu'jam Alfazh al-Qur'an al Karim, terbitan Dewan Bahasa Arab Mesir (Majma' al-Lughah al-'Arabiyyah) dan sebagainya. Ayat-ayat dimaksud adalah yang memiliki kesamaan kosa kata dan derivasinya, atau memiliki keterkaitan makna dengan tema yang sedang dibahas. Namun terkadang kesamaan kosa kata atau derivasinya tidak terkait dengan tema pembahasan seperti dalam pembahasan "Penerapan Hukum Tuhan" (Al-Hukm bima anzalallah) tidak ada kaitan erat antara "al¬-hukm", atau "yahkum" dengan sifat Tuhan yang al-hakim, kendati keduanya berasal dari satu akar kata (ha ka ma).

       Upaya menghimpun ayat-ayat di atas untuk memastikan tidak satu pun ayat yang terkait dengan tema bahasan tertinggal. Setelah terhimpun, dapat dieliminir ayat-ayat yang tidak memiliki kaitan erat dengan tema pembahasan.

3.   Menyusun urutan ayat sesuai masa turunnya.
       Secara rinci hal ini sulit untuk dilakukan, sebab sumber-sumber terpercaya tentang itu sangat terbatas. Sebagian besar ayat-ayat Al-Quran tidak diketahui sebab pewahyuannya. Tetapi secara umum dengan mudah kita dapat mengetahuinya melalui batasan yang dirumuskan para ulama melalui klasifikasi ayat-ayat atau surah-surah ke dalam kelompok makkiyyah (yang diturunkan sebelum hijrah) dan madaniyyah (yang diturunkan setelah hijrah).

       Upaya yang dilakukan oleh beberapa sarjana Barat untuk menyusun Al-Quran berdasarkan kronologi turunnya, oleh Prof. Abdurrahman Badawi, seorang pemikir besar Mesir yang berdomisili di Sorbone, dalam bukunya Difa 'an al-Qur'an Dhidda Muntaqidih, dinilai gagal sebab tidak didukung oleh bukti-bukti periwayatan yang kuat melainkan sekadar dugaan yang tak berdasar (takhmin). Sandaran utama dalam menentukan masa turunya ayat atau surah adalah informasi yang disampaikan oleh para sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu melalui jalur periwayatan yang sahih. Perbedaan antara makkiy dan madaniyy dapat dilihat dari sisi gaya bahasa (uslub) dan tema yang diusung (mawdhu'dt) seperti diungkap oleh banyak sarjana Al-Quran.

       Langkah ini menjadi sangat penting terutama dalam kontek ayat-ayat hukum yang hanya dapat dipahami secara benar dengan mengetahui urutan turunnya seperti ayat-ayat yang turun secara bertahap (ayat-ayat khamar dan riba).

4.  Memahami korelasi (munasabah) antar-ayat.
     
      Berangkat dari pandangan susunan ayat dan surah dalam Al-Quran diterima secara tauqifiy (berdasarkan wahyu), para ulama berkata ada kaitan erat antar-ayat dan surah, bahkan kalimat, dalam Al-Quran. Karena itu perlu ditelusuri korelasi antara satu dengan lainnya. Susunan yang ada dalam mushaf tentunya memiliki banyak rahasia yang tidak boleh diabaikan oleh seseorang yang akan menafsirkannya. Seorang mufassir tematis, dalam karyanya berusaha mengumpulkan ayat-ayat tertentu yang berserakan di berbagai tempat dalam Al-Quran untuk sampai pada kesimpulan menyangkut suatu permasalahan. Agar tidak terkesan mencerabut ayat atau melepaskannya dari konteks asal penyebutannya, maka mufassir tematis hendaknya juga memperhatikan konteks penyebutannya, terutama korelasinya dengan ayat sebelum (sibaq al-ayah) dan sesudahnya (lihaq al-ayah).

5. Memperhatikan sebab nuzul untuk memahami kontek ayat.
     
        Sebagian besar ayat-ayat Al-Quran turun tanpa sebab. Bahkan ayat-ayat yang disinyalir memiliki sebab nuzul seperti diurai dalam Asbab al-Nuzul karya al-Wahidiy dan Lubab al Nuqul karya al-Suyuthi dinilai banyak ahli memiliki kelemahan dalam sanadnya, atau ungkapannya yang beragam seperti nazalat fi kadza ....., ....... fanazalat, tidak mengesankan sebab pewahyuan tetapi kesamaan sebuah peristiwa yang dialami sahabat tertentu dengan bunyi sebuah ayat. Namun demikian, satu hal yang disepakati para ulama, mengetahui sebab nuzul sebuah ayat, jika ada, sangat penting dalam menafsirkan Al-Quran. Keragaman sebab nuzul dapat disikapi dengan memilih riwayat yang paling sahih, atau jika semuanya sahih dengan melihat ungkapan sebab nuzul yang paling tepat.

      6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis dan pendapat para ulama
     
      Hadis disepakati para ulama memiliki peran penting dalam menjelaskan beberapa ayat Al-Quran. Tetapi karena melalui tafsir tematis akan disuguhkan konsep-konsep qur'aniy maka seorang tafsir tematis sedapat mungkin tidak terlalu luas dalam mengutip sumber di luar Al-Quran, termasuk hadis dan pendapat serta para ahli dan ulama, kecuali yang bersentuhan langsung dengan tema bahasan. Hadis dan pandangan ulama dikutip hanya untuk menjelaskan kandungan ayat, bukan membentuk anasir baru dalam pembahasan. Pengunaan hadis dan pendapat ahli yang terlalu banyak akan menghilangkan ciri dari sebuah tafsir tematis, dan mengarah kepada yang disebut dengan artikel tafsir (maqalah tafsiriyyah). Dalam mengutip hadis diupayakan agar dipilih hadis-hadis yang sahih, sementara pandangan ulama atau ahli, baik klasik maupun kontemporer, dengan menggunakan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

 7.  Mempelajari ayat-ayat secara mendalam


 8. Menganilisis ayat-ayat secara utuh dan kemprehensif dengan jalan mengkompromikan antara yang am dan khash, yang muthlaq dan muqayyad dan lain sebagainya.
       Kedua poin ini adalah yang terpenting dalam langkah pembahasan tafsir tematis, sebab dari sini akan lahir ragam konsep menyangkut tema bahasan. Pada tahap ini dapat dilakukan antara lain :

a. Mempelajari dan menganalisa makna kosa kata melalui kamus-kamus bahasa atau Al-Quran yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Terkadang satu kalimat memiliki sekian pengertian, tetapi maksud atau maknanya dapat ditentukan dengan melihat konteks penyebutan (siyaq al-ayah) dan korelasinya (munasabah).

b. Menjelaskan masalah-masalah kebahasaan seperti nahwu atau balaghah yang dipandang perlu untuk. pengayaan makna terkait ayat yang dibahas.

c.   Setelah ayat-ayat terkait dikumpulkan, terkadang ada beberapa ayat yang terkesan 'kontradiktif'. Kesan ini seharusnya tidak perlu timbul, karena tidak ada kontradiksi dalam Al-Quran. Untuk itu dapat dilakukan upaya kompromi (al jam'u/ al-tawfiq) antara ayat-ayat yang mengesankan demikian, seperti mengkompromikan antara yang 'am dan khash, yang muthlaq dan muqayyad dan lain sebagainya, bila tidak memungkinkan dapat dilakukan dengan meneliti mana di antara keduanya yang nasikh dan mansukh melalui riwayat yang sahih.

d. Mengelompokkan ayat-ayat yang telah dihimpun ke dalam beberapa sub tema sesuai anasir yang ditemukan terkait tema bahasan, dan menjelaskannya untuk menemukan konsep-konsep qur'aniy yang kokoh sesuai maqashid Al-Quran.

 9.  Membuat kesimpulan dari masalah yang dibahas.

Kesimpulan dimaksud adalah yang dapat menggambarkan tujuan/ maqahid serta bimbingan/ petunjuk Al-Quran yang dapat membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan masyarakat.

B.  Tema-Tema Aktual Tafsir Tematis
     
       Untuk mewujudkan tafsir tematis kolektif, Departemen Agama RI (Cq. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Balitbang dan Diklat) pada tahun 2007, telah menyusan Tafsir Tematik dengan tema-tema yang mengacu kepada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, yang terkait dengan kehidupan beragama. Tema-tema tersebut yaitu :

1. Hubungan Antar-umat Beragama, dengan isi pembahasan sebagai berikut :
a.   Manusia dan Agama ;
b. Toleransi Islam terhadap pemeluk agama lain ;
c. Hak-hak dan kewajiban umat beragama dan negara
d Konsep jihad, perang dan damai dalam Islam ;
e Terorisme dan kekerasan ;
f Perkawinan beda agama ;
g Konsep jizyah bagi non muslim dalam Islam ;
h Etika dialog antaragama ;
i Peran negara dalam membina kerukunan.

2. Al-Qur'an dan Pemberdayaan Kaum Dhu'afa dan Perempuan, dengan materi-materi:
a.   Al-Qur'an dan pemberdayaan kaum dhuafa ;
b Pemberdayaan kaum miskin;
c Pemberdayaan manusia berusia' lanjut;
d Perlindungan anak;
e Pemberdayaan perempuan;
f Pemberdayaan gelandangan dan pengemis;
g Perlindungan terhadap anak yatim, dan;
h Pemberdayaan dhuafa dalam konteks masyarakat Indonesia.

3. Membangun Keluarga Harmonis, dengan pembahasan :
a Urgensi berkeluarga ;
b Pernikahan sebagai komitmen Ilahi dan insani ;
c Sakinah, mawaddah dan rahmah dalam rumah tangga
d Hak dan kewajiban anggota keluarga ;
e Beberapa bentuk perkawinan yang dipermasalahkan
f Permasalahan dalam keluarga ;
g Mengatasi konflik dalam keluarga.
 
   Hasil pembahasan ketiga tema tersebut akan dicetak pada tahun 2008 dalam tiga buku yang terpisah. Tentunya masih banyak tema-tema lain pada bidang akidah, ibadah, sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, ilmu dan teknologi yang layak dan perlu diangkat untuk dicarikan solusinya dari Al-Quran. Masukan dari para ahli tentunya sangat dinanti. Dengan begitu, Al-Quran akan terasa hidup di tengah-tengah kehidupan dan hadir mengayomi perjalanan hidup manusia.

   Demikian, semoga niat tulus untuk berkhidmat kepada Al-Quran dan mewujudkan fungsinya sebagai hidayah Tuhan bagi manusia terwujud dan diterima sebagai amal saleh kita bersama.

TEKNIK TERJEMAH

A.  Terjemah dan Jenis-jenisnya

1.   Pengertian.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia terjemah diartikan sebagai: menyalin, memindahkan dari satu bahasa ke bahasa lain atau mengalihbahasakannya baik dengan ucapan spontan maupun tertulis. Sedangkan arti bahasa adalah satuan kata yang memiliki satu pengertian yang disebut kalimat.

       2.   Jenis-jenis Terjemah
 
  Terjemah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Terjemah Langsung (Fauriyah/ Spontan) 2. Terjemah tertulis (Tahririah)

   Terjemah Fauriyah adalah terjemah langsung tanpa tulisan yang sudah dipersiapkan. Terjemah spontan (fauriyah) lebih dahulu dikenal manusia dari pada terjemah tertulis, yaitu sejak adanya interaksi antara kabilah atau antar negara, baik dalam situasi damai atau perang. Setelah orang mengenal alat tulis menulis mulailah terjemah dalam bentuk tertulis digunakaan secara meluas.

B.  Hal-hal yang Dibutuhkan Seorang Penerjemah
     
Menerjemah bukanlah hal yang mudah, tetapi suatu proses yang sulit dan kompleks bahkan lebih sulit dari pada mengarang buku. Kalau seorang pengarang buku bebas mengungkapkan isi pikirannya dalam bentuk tulisan, tidak demikian dengan seorang penerjemah, ia hanya bertugas mengalihbahasakan isi pikiran orang lain dalam bahasa aslinya ke bahasanya sendiri dengan amanah, tanpa mengurangi atau menambahnya, ia berusaha mendekatkan makna terjemahannya dengan makna aslinya. Oleh sebab itu, seorang penerjemah harus memperhatikan aspek-aspek berikut:

1. Seorang penerjemah harus betul-betul menguasai kaidah-kaidah kebahasaan, bahasa asli, dan bahasa terjemahannya. Di antara kaedah-kaedah bahasa Arab yang harus dikuasai oleh seorang penerjemah Arab ke Indonesia adalah: makna-makna kosa kata, tunggal maupun jamak, mudzakkar dan muannas, nahwu, shorof, i'rab (posisi kata dalam kalimat), idhofah, kata sifat, keterangan idhofah.

2. Spesialisasi dalam bidang ilmu yang diterjemahkan oleh seorang penerjemah harus betul-betul menguasai bidang ilmu yang diterjemah. Kepiawaian menerjemah selain karena latihan terus menerus juga ditentukan oleh spesialisasinya penguasaan materi terjemah akan terefleksikan pada hasil terjemahannya. Orang yang terbiasa menerjemahkan karya fiksi dan sastra tentu sulit untuk menerjemahkan buku sciencemisalnya.

3. Pentingnya mengetahui biografi atau latar belakang pengarang      buku    yang     akan     dialihbahasakan,

4. memahami dan menghayati jalan pikiran si pengarang. Sebab tugas seorang penerjemah bukan hanya mengalihbahasakan kata dan kalimat ke bahasa Indonesia, tetapi juga harus menampilkan arti dari buku asli yang diterjemahkannya.

5. Komitmen untuk jujur dan amanah dalam menerjemah. Seorang penerjemah harus betul-betul komitmen, jujur dan amanah dalam mengalihbahasakan teks asli kepada terjemahan, tanpa memajukan atau mengakhirkan, menambah atau menghapus kecuali jika terkait dengan komposisi bahasa yang dialihbahasakan, berbeda dengan bahasa terjemahan, misalnya:
“خرجت المراة من دارها”
diterjemahkan menjadi "wanita itu keluar dari rumahnya". Kata wanita harus didahulukan karena kaedah bahasa Indonesia mendahulukan subjek dari predikat, berbeda dengan bahasa Arab. Dengan demikian, hasil terjemahan bisa dipahami oleh pembacanya. Komitmen, kejujuran dan amanah seorang penerjemah sangat penting dalam proses menerjemahkan, agar hasil terjemahan bisa sedekat mungkin bersesuaian maknanya dengan teks aslinya. Kesesuaian makna dengan buku/teks asli penting bukan hanya agar daya tarik laku terjemahan tidak kalah dengan buku aslinya, tetapi kesesuaian atau kedekatan makna ini menjadi tolak ukur kita.

      Berbagai kesulitan dalam menerjemah kalimat adalah susunan kata yang bisa memberi pengertian yang sempurna. Oleh karena itu, setiap kata sebagai unsur yang merujuk pada ke satu pengertian, memiliki fungsi yang sangat vital untuk diketahui konsepnya. Dalam penerjemahan kesalahan dalam penempatan kata sebagai ganti konsep yang dikehendaki oleh bahasa asli akan berakibat fatal.
 
       Urgensi konsep sebuah kata dalam terjemahan dapat kita gambarkan sebagai berikut: Setiap bangsa dalam menggambarkan konsep yang sama menggunakan kata yang berbeda. Perbedaan penggunaan kata inilah yang menempatkan arti penting sebuah penerjemahan sebagai alat penyelaras bahasa, agar konsep-konsep yang dimaksud oleh bahasa asli dapat diterima oleh pembaca yang berbahasa lain. Misalnya: orang Indonesia menyebut konsep tempat duduk yang berkaki dan punya sandaran itu bangku, namun orang Arab menyebutnya dengan "mag'ad'. Penyebutan kata "bangku" dan "maq'ad' ini dapat diungkapkan dengan ucapan dan tulisan. Kedua kata tersebut berbeda bentuk, bunyi, dan tulisannya, tapi menggambarkan konsep yang sama. Contoh lain, sebuah kata yang sudah diserap ke dalam bahasa tertentu, konsepnya bergeser dari bahasa aslinya. Seperti kata "ulama" dalam bahasa Arab menunjukkan konsep jamak, akan tetapi dalam bahasa Indonesia konsep yang dikandung oleh kata tersebut berubah menjadi tunggal. Pada kasus ini, terjemahan kata "ulama" ke dalam bahasa Indonesia harus dengan menambahkan kata bantu jamak atau menggunakan bentuk pengulangan.

       Kedua contoh di atas, memberi penegasan kepada kita bahwa kata dan konsep layaknya dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Penggunaan tiap-tiap bentuk kata tergantung pada budaya setempat. Oleh sebab itu, ketika seseorang hendak menempatkan padanan kata tertentu maka yang menjadi pijakannya adalah menyamakan konsep yang dibawa oleh dua kata yang berbeda tersebut agar persis sama.

       Kendala lain yang seringkali dihadapi seorang penerjemah dalam pengalihan bahasa adalah kendala budaya yang lebih rumit, sehingga mempersulit penerjemah. Misalnya dua konsep yang berdekatan tapi berbeda, keduanya ada dalam tradisi masyarakat, hanya saja jumlah penyebutan kata yang mewakilinya berbeda. Misalnya dalam tradisi Indonesia, konsep bangunan kecil untuk salat disebut mushalla, langgar atau surau, tetapi dengan menggunakan satu kata yaitu masjid dalam bahasa Arab sudah merujuk kepada dua pengertian tersebut. Ini jelas menghadirkan problem, ketika dalam bahasa Arab hanya disebutkan dalam kata "masjid" kita tidak bisa memastikan apakah maksudnya surau atau masjid dalam tradisi kita. Untuk contoh seperti ini keakuratan terjemahan hanya akan diperoleh melalui adanya penjelasan lainnya.

     Contoh lain, seringkali sebuah kata digunakan untuk menggambarkan suatu konsep yang lebih dari satu. Pengalihan bahasa ke dalam bahasa tertentu tentu saja memaksa penerjemah untuk mengambil salah satu arti dari kata tersebut.

      Permasalahannya apakah bahasa sasaran tersebut juga mewakili beberapa makna. Jika padanan kata tersebut tidak mewakili arti yang beragam, berarti kata tersebut tidak dapat diterapkan pada bahasa terjemahan. Misalnya kata "dhoroba" diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan memukul, tetapi dalam konteks lain dalam bahasa Arab kata ini dapat merujuk kepada konsep yang berbeda, misalnya:

   Artinya:Dan beratlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri keiika utusan-utusan datang kepada mereka. (Q.S. Yasin [36]: 13)


Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi. (Q.S. al-Nisa' [4]: 101)

Artinya: Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. (Q. S. al-Hadid [57]: 13)

      Problem lainnya adalah penggunaan kata dalam pengertiannya dalam bahasa sumber adalah konotatif. Jenis kata ini ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan unsur-unsur pembentuknya dapat berubah pengertiannya menjadi denotatif. Hal ini terjadi jika konsep kata tersebut tidak dikenal dalam tradisi masyarakat yang dituju. Oleh sebab itu, konsep yang diwakili oleh kata tersebut berubah, misalnya kata "kamar kecil" dalam bahasa Indonesia berarti WC, ketika diterjemahkan dengan "al-hujrah al¬shagirah" pengertiannya jadi berubah, rneskipun unsur pembentuk katanya adalah padanan kata. Problem seperti ini luga dapat berlaku sebaliknya. Oleh sebab itu, akurasi pemaknaan kata dapat dilakukari dengan penelusuran budaya setempat.

DAFTAR PUSTAKA

M. Baqir al-Shadr, AI-Madrasah al-Qur'dniyyah, (Qum : Syareat, Cet. III, 1426 I~, hal. 31. Ungkapan Istanthiq al-Qur'dn terambil dari Imam Ali bin Abi Thalib kw, dalam kitab Nahj al-Balaghah, Khutbah ke 158, yang mengatakan : Dzalika al-Qur'dn ~ fastanthiqishu (Ajaklah Al-Quran itu berbicara) .
A1 Jawhariy, Taj al-Lughah wa Shihah al-'Arabiyyah (Beirut : Dar Ihya al-Turats al¬Arabiyy, 2001), Bab al-~ Ain, Fashl al-Waw, 3/1300
Para ulama yang menggagas z~etode ini berbeda pendapat dalam soal penamaannya. -M. Baqir al-Shadr menamakannya dengan mgtode tawhidiy (penyatuan tema pembahasan), yang tahliliy beliau sebut tajzi'iyy. Syeikh M. Al-Ghazaliy menyebutnya dengan mawdhis'iyy (berdasarkan tema), dan yang tahliliyy beliau sebut al-mawdhi'iyy (berdasarkan tempat/ urutan penyebutan dalam mushaf).

.M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam alMufahras, dan Al- Raghib al-Ashfahaniy, al¬Mufradat fi Gharib al-Qur'an (Libanon : Dar al-Ma'rifat), 1/526
Abd. Sattar Fathullah Said, AI-Madkhal ila al- Tafsir al-Mawdhu' iy (Kairo : Dar al-Nasyr wa al-Tawzi' al-Islamiyyah, Cet. 2, 1991), hal. 22
Al-Fadhil Ibnu Asyur, Al-Tafsir wa Rijaluhu, dalam Majmu'ah al-Rasa'il al-Kamdliyah (Thaif : Maktabat al-Ma'arif), hal. 486
Musthafa Muslim, Mabuhiuft al-Tafsir al-Mawdhis'iy, (Damaskus : Dar al-Qalam, Cet. III, 2000), hal 17
Al -Madrasah al-Qur'aniyyah, hal. 27

      (Al-Naba al-Azhim, Mathba'ah al-Sa'adah, Mesir, 1960, hal. 159).
Pernyataan metode bayaniy (adabiy) Al-Khuli mengadopsi Hermeneutika Barat (Schleirmacher) dikemukakan oleh Sayyed Ahmad Khalil, Guru Besar sastera Arab Universitas Alexandria, dalam bukunya Diratsat fi al-Qur'an, hal. 148
"Mandhij Tajdid, hal. 233
Dikutip dari Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah ft al-Tafsir al-Mawdhit'iyy, (Kairo : Maktabah Jumhuriyyat Mishr, Cet. II, 1977) hal. 66
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), hal. xii
ls AI-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebutkan 15 disiplin ilmu yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan menafsirkan Al-Quran, yaitu : 1) bahasa Arab; 2) Nahwu; 3) Sharaf; 4) Isytiqaq; 5) Ilmu al-Ma'aniy; 6) Ilmu al-Bay"an; 7) Ilmu al-Badi'; 8) Ilmu Qira'at; 9)Ushuluddin; 10) Ushul Fiqih ; 11) Asbab al-Nuzul; 12) al-Nasikh wa al-Mansukh; 13) Fikih ; 14) Ilmu 4adis; dan 15) IImu Mawhibah. Al-Itqanfz 'Mm al-Qur'an (Lebanon: Dar al-Fikr, Cet. I, 1996), hal: 4/185.
Hemat penulis, prasyarat keilmuan seorang mufassir tidak terbatas pada yang 15 di atas, tetapi mencakup ilmu-ilmu lain yang berkembang kemudian, dan dapat membantu proses penafsiran (terutama di masa kini) seperti sosiologi, antropologi, psikologi, kedokteran dan lain sebagainya.
      Prasyarat amaliyah dimaksud adalah memiliki akidah yang benar dan selalu komitmen dengan ajaran Islam, serta keikhlasan yang tinggi dengan menjadikan usahanya dalatn menafsirkan Al-Quran semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah subhanahu wata'ald. Demikian antara lain dikemukakan oleh al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan, hal. 4/174, 175 dan Al-Nawawi dalam Al-Tibydn fa Adab Hamalatil Qur'an (Damaskus: Al-Wakalah al-Amah li al-Tawzi, Cet. I, 1983) hal. 1983. Hemat penulis, syarat tersebut tidak bersifat mutlak. Saat ini, sebagian kalangan orientalis, yang umumnya tidak berakidah Islan~ melakukan kajian terhadap Al-Quran secara obyektif -dan memberikan kontribusi positif bagi perigembangan kajian Al-Quran. Namun harus diakui, kelompok orientalis yang obyektif dalam kajiannya (al-munshifisn) terhadap Islam, jauh lebih sedikit daripada mereka yang berusaha mencari celah kekurangan dan kelemahan yang ada dalam Al-Quran dan hadis. Ini yang mengharuskan kita bf hati-hati dalam mencerna hasil kajian mereka.


     "Dalam bukunya ter, but, M. Abdullah Diraz memberikan kerangka teoritis model tematis kedua ini dan menerapk~nya pada surah al-baqarah (lihat : bagian akhir buku tersebut)
Dicetak oleh Al-Hay'ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab, Kairo, 1998
Dicetak oleh Al-Hay'ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab, Kairo, 1998
Sampai saat ini karya al-Farmawi tersebut belum dicetak dalam bentuk buku, tetapi dapat ditemukan dalam website dakwah yang diasuh oleh al-Farmawi : www.hadielislam.com.
Kekeliruan dimaksud misalnya seperti terjadi pada kaidah yang sering dikemukakan para mufassir, yaitu : "Kata rih (angin) jika disebut dalam bentuk jamak (plural/ riyah) maka berarti rahmat/ kebaikan, dan jika disebut dalam bentuk mufrad (single/ rih) maka berarti azab" (Lihat : Al-Itqan, hal. 1/144.
Sebagian ulama bahkan menisbatkan kaidah tersebut kepada sahabat Ubay bin Ka'ab (Al-Itqan 1/192). Dengan menelusuri ayat-ayat tentang rih dan riyah dalam Al-quran secara tematis, kata itu disebut dalam bentuk mufrad sebanyak 19 kali, tujuh di antaranya (lebih dari sepertiga) dalam konteks kebaikan dan rahmat. Lihat : Q.,s. Yunus ; 22, Q.,s. Al-Syura : 33, Q.,s. Yusuf : 94, Q.,s. Al-Anbiya : 81, Q.,s. Saba : 12, Q.,s. Shad : 36, Q.,s. AI-Anfal : 46. Sedangkan dalam bentuk jamak (riyah) tersebut sebanyak 10 kali, semuanya dalam konteks kebaikan, kecuali satu ayat dalam Q.,s. Al-Kahf : 45 ( fa ashbaha hasyiman tadzruhu al-riyah) yang memiliki dua kemungkinan; rahmat atau azab, sebab dalam qiraat lain (tujuh yang mutawatir/ Hamzah dan Kisa'iy) al-riyah dalam ayat itu juga dibaca dengan al-rih (mufrad).
Al-Banna, Ithaf Fudhala al¬-Basyar (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet I, 1998), hal. 367
File ini bersumber dari tulisan DR.H,Nawawi Nurdin.



No comments:

Post a Comment