Hukum Meminta Bantuan Kepada Jin Untuk Mengetahui Perkara-perkara
Ghaib
Apa hukum Islam mengenai orang yang meminta bantuan kepada jin
untuk mengetahui perkara-perkara ghaib? Apa hukum Islam tentang menghipnotis,
yang dengannya kekuasaan peng-hipnotis untuk mempengaruhi orang yang dihipnotis
menjadi kuat. Selanjutnya dia menguasainya dan membuatnya meninggalkan yang
haram, menyembuhkan dari penyakit kejiwaan, atau melakukan pekerjaan yang
diminta oleh penghipnotis? Apa pula hukum Islam tentang ucapan si polan: Bihaqqi
fulan (dengan hak si fulan); apakah ini sumpah atau tidak? Berilah penjelasan
kepada kami.
Jawaban:
Pertama, ilmu tentang perkara-perkara ghaib hanya dimiliki oleh Allah secara khusus. Tidak ada seorang pun dari makhluknya yang mengetahuinya, baik jin maupun selainnya, kecuali apa yang Allah wahyukan kepada siapa yang dikehendakiNya dari para malaikat atau rasul-rasulNya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
"Katakanlah, 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah', dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan." (An-Naml: 65).
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman mengenai NabiNya, Sulaiman Alaihissalam, dan jin yang ditundukkanNya untuknya,
"Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersung-kur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang meng-hinakan." (Saba': 14).
Dia berfirman,
"(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya." (Al-Jin: 26-27).
Diriwayatkan secara sah dari an-Nawwas bin Sam`an Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Jika Allah hendak mewahyukan suatu perkara Dia berfirman dengan wahyu, maka langit menjadi takut atau sangat gemetar karena takut kepada Allah r. Jika ahli langit mendengar hal itu, maka jatuh dan bersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah. Mula-mula yang mengangkat kepalanya adalah Jibril, lalu Allah berbicara kepadanya dari wahyuNya tentang apa yang dikehen-dakiNya. Kemudian Jibril melintasi para malaikat. Setiap kali melewati suatu langit, maka para malaikat langit tersebut ber-tanya, 'Apa yang difirmankan oleh Tuhan kami, wahai Jibril?' Jibril menjawab, 'Dia berfirman tentang kebenaran, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.' Lalu mereka semua mengucapkan seperti yang dikatakan Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu ke tempat yang diperintahkan Allah kepadanya.'"
Dalam ash-Shahih dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, beliau bersabda,
"Jika Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, seolah-olah rantai di atas batu besar. Ketika telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, maka mereka bertanya, 'Apakah yang difirman oleh Tuhan kalian.' Mereka menjawab kepada yang bertanya, 'Dia berfirman tentang kebenaran dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.' Lalu pencuri pembicaraan (setan) mendengarkannya. Pencuri pembicaraan demikian, sebagian di atas sebagian yang lain -Sufyan menyifatinya dengan telapak tangannya lalu membalikkannya dan memisahkan di antara jari-jarinya-. Ia mendengar pembicaraan lalu menyampaikannya kepada siapa yang di bawahnya, kemudian yang lainnya menyampai-kannya kepada siapa yang di bawahnya, hingga ia menyampaikannya pada lisan tukang sihir atau dukun. Kadangkala ia mendapat lemparan bola api sebelum menyampaikannya. Kadangkala ia menyampaikannya sebelum mengetahuinya, lalu ia berdusta bersamanya dengan seratus kedustaan. Lalu dikatakan, 'Bukankah ia telah berkata kepada kami demikian dan demimkian, demikian dan demikian.' Lalu ia mempercayai kata-kata yang didengarnya dari langit."
Atas dasar ini maka tidak boleh meminta bantuan kepada jin dan makhluk-makhluk selainnya untuk mengetahui perkara-perkara ghaib, baik berdoa kepada mereka, mendekatkan diri kepada mereka, membuat kemenyan, maupun selainnya. Bahkan, itu adalah kesyirikan, karena ini sejenis ibadah. Padahal Allah telah memberi tahu kepada para hambaNya agar mengkhususkan peribadatan kepadaNya seraya mengikrarkan,
"Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).
Telah sah dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bahwa beliau bersabda kepada Ibnu Abbas,
ÅöÐóÇ ÓóÃóáúÊó ÝóÇÓúÃóáö Çááåó æóÅöÐóÇ ÇÓúÊóÚóäúÊó
ÝóÇÓúÊóÚöäú ÈöÇááåö
"Jika kamu meminta, maka memintalah kepada Allah dan jika kamu
meminta pertolongan, maka memintalah pertolongan kepada Allah."
Kedua, hipnotis adalah salah satu jenis perdukunan dengan mempergunakan jin sehingga penghipnotis memberi kuasa kepa-danya atas orang yang dihipnotisnya. Ia berbicara lewat lisannya dan mendapatkan kekuatan darinya untuk melakukan suatu pekerjaan lewat penguasaan terhadapnya, jika jin tersebut jujur bersama penghipnotis itu. Ia mentaatinya sebagai imbalan "pengabdian" penghipnotis kepadanya. Lalu jin itu menjadikan orang yang dihipnotis tersebut mentaati kemauan penghipnotis terhadap segala yang diperintahkannya berupa pekerjaan-pekerjaan atau informasi-informasi lewat bantuan jinnya, jika jin itu jujur ber-sama si penghipnotis. Atas dasar itu maka menggunakan hipnotis sebagai sarana untuk menunjukkan tempat pencuri, barang yang hilang, menyembuhkan penyakit, atau melakukan aktifitas lainnya lewat jalan penghipnotis adalah tidak boleh bahkan kesyirikan, berdasarkan alasan yang telah disebutkan. Dan, karena itu berarti kembali kepada selain Allah, dalam perkara yang diluar sebab-sebab biasa yang disediakan Allah Subhannahu wa Ta'ala untuk para makhluk dan diperbolehkan untuk mereka.
Ketiga, ucapan seseorang: Bihaqqi fulan (demi/ dengan hak polan), mengandung makna sumpah. Maksudnya, aku bersum-pah kepadamu demi polan. Ba' di sini adalah Ba' al-Qasam (kata yang mengandung arti sumpah). Bisa juga mengandung makna tawassul dan meminta bantuan kepada diri fulan atau kedu-dukannya. Jadi, Ba' ini untuk Isti`anah (meminta bantuan). Pada kedua hal ini, ucapan ini tidak boleh.
Adapun yang pertama, bersumpah kepada makhluk oleh makhluk adalah tidak boleh. Bersumpah kepada makhluk sangat dilarang oleh Allah, bahkan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menetapkan bahwa bersumpah kepada selain Allah adalah syirik. Beliau bersabda,
Kedua, hipnotis adalah salah satu jenis perdukunan dengan mempergunakan jin sehingga penghipnotis memberi kuasa kepa-danya atas orang yang dihipnotisnya. Ia berbicara lewat lisannya dan mendapatkan kekuatan darinya untuk melakukan suatu pekerjaan lewat penguasaan terhadapnya, jika jin tersebut jujur bersama penghipnotis itu. Ia mentaatinya sebagai imbalan "pengabdian" penghipnotis kepadanya. Lalu jin itu menjadikan orang yang dihipnotis tersebut mentaati kemauan penghipnotis terhadap segala yang diperintahkannya berupa pekerjaan-pekerjaan atau informasi-informasi lewat bantuan jinnya, jika jin itu jujur ber-sama si penghipnotis. Atas dasar itu maka menggunakan hipnotis sebagai sarana untuk menunjukkan tempat pencuri, barang yang hilang, menyembuhkan penyakit, atau melakukan aktifitas lainnya lewat jalan penghipnotis adalah tidak boleh bahkan kesyirikan, berdasarkan alasan yang telah disebutkan. Dan, karena itu berarti kembali kepada selain Allah, dalam perkara yang diluar sebab-sebab biasa yang disediakan Allah Subhannahu wa Ta'ala untuk para makhluk dan diperbolehkan untuk mereka.
Ketiga, ucapan seseorang: Bihaqqi fulan (demi/ dengan hak polan), mengandung makna sumpah. Maksudnya, aku bersum-pah kepadamu demi polan. Ba' di sini adalah Ba' al-Qasam (kata yang mengandung arti sumpah). Bisa juga mengandung makna tawassul dan meminta bantuan kepada diri fulan atau kedu-dukannya. Jadi, Ba' ini untuk Isti`anah (meminta bantuan). Pada kedua hal ini, ucapan ini tidak boleh.
Adapun yang pertama, bersumpah kepada makhluk oleh makhluk adalah tidak boleh. Bersumpah kepada makhluk sangat dilarang oleh Allah, bahkan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menetapkan bahwa bersumpah kepada selain Allah adalah syirik. Beliau bersabda,
ãóäú ÍóáóÝó ÈöÛóíúÑö Çááåö ÝóÞóÏú ÃóÔúÑóßó
"Barangsiapa bersumpah kepada selain Allah, maka ia telah
syirik." (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim; ia menilainya sebagai
hadits shahih).
Adapun yang kedua, karena para sahabat tidak ber-tawassul kepada diri Nabi a dan tidak pula kepada kedu-dukannya semasa hidupnya dan sesudah kematiannya. Padahal mereka itu manusia yang paling tahu tentang maqam dan kedudukan beliau di sisi Allah serta lebih tahu tentang syariat. Berbagai penderitaan telah mereka alami semasa hidup Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan setelah kematiannya, namun mereka kembali kepada Allah dan berdoa kepadaNya. Seandainya bertawassul dengan diri atau kedudukan beliau Shalallaahu alaihi wasalam itu disyariatkan, niscaya beliau telah mengajarkan hal itu kepada mereka; karena beliau tidak meninggalkan suatu perkara untuk mendekatkan diri kepada Allah melainkan beliau memerintahkannya dan memberi petunjuk kepadanya. Dan, niscaya mereka mengamalkannya karena me-reka sangat antusias mengamalkan apa yang disyariatkan kepada mereka, terutama pada saat mengalami kesulitan. Tiadanya kete-tapan izin dari beliau Shalallaahu alaihi wasalam mengenainya dan petunjuk kepadanya serta mereka tidak mengamalkannya adalah bukti bahwa itu tidak diperbolehkan.
Yang sah dari para sahabat , bahwa mereka bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kepada Tuhannya agar permohonan mereka dikabulkan semasa hidupnya, seperti dalam Istisqa' (meminta hujan) dan selainnya. Tatkala beliau telah wafat, Umar Radhiallaahu anhu ketika keluar untuk Istisqa' mengatakan,
"Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami lalu Engkau memberi hujan kepada kami. Dan sesungguhnya kami sekarang bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan."
Maka, mereka diberi hujan.
Maksudnya doa al-Abbas kepada Tuhannya serta permo-honannya kepadaNya, dan yang dimakud bukan bertawassul kepada kedudukan al-Abbas; karena kedudukan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam lebih besar dan lebih tinggi darinya. Kedudukan ini tetap berlaku untuknya sepeninggalnya sebagaimana semasa hidupnya. Sean-dainya tawassul tersebut yang dimaksudkan, niscaya mereka telah bertawassul dengan kedudukan Nabi a daripada bertawas-sul kepada al-Abbas. Tetapi, nyatanya, mereka tidak melakukannya. Kemudian, bertawassul kepada kedudukan para nabi dan semua orang shalih adalah salah satu sarana kesyirikan yang terdekat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh fakta dan pengalaman. Oleh karenanya perbuatan ini dilarang untuk menutup jalan tersebut dan melindungi tauhid. Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan atas Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, vol. 30, hal. 78-81, al-Lajnah ad-Da'imah.
Adapun yang kedua, karena para sahabat tidak ber-tawassul kepada diri Nabi a dan tidak pula kepada kedu-dukannya semasa hidupnya dan sesudah kematiannya. Padahal mereka itu manusia yang paling tahu tentang maqam dan kedudukan beliau di sisi Allah serta lebih tahu tentang syariat. Berbagai penderitaan telah mereka alami semasa hidup Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan setelah kematiannya, namun mereka kembali kepada Allah dan berdoa kepadaNya. Seandainya bertawassul dengan diri atau kedudukan beliau Shalallaahu alaihi wasalam itu disyariatkan, niscaya beliau telah mengajarkan hal itu kepada mereka; karena beliau tidak meninggalkan suatu perkara untuk mendekatkan diri kepada Allah melainkan beliau memerintahkannya dan memberi petunjuk kepadanya. Dan, niscaya mereka mengamalkannya karena me-reka sangat antusias mengamalkan apa yang disyariatkan kepada mereka, terutama pada saat mengalami kesulitan. Tiadanya kete-tapan izin dari beliau Shalallaahu alaihi wasalam mengenainya dan petunjuk kepadanya serta mereka tidak mengamalkannya adalah bukti bahwa itu tidak diperbolehkan.
Yang sah dari para sahabat , bahwa mereka bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kepada Tuhannya agar permohonan mereka dikabulkan semasa hidupnya, seperti dalam Istisqa' (meminta hujan) dan selainnya. Tatkala beliau telah wafat, Umar Radhiallaahu anhu ketika keluar untuk Istisqa' mengatakan,
"Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami lalu Engkau memberi hujan kepada kami. Dan sesungguhnya kami sekarang bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan."
Maka, mereka diberi hujan.
Maksudnya doa al-Abbas kepada Tuhannya serta permo-honannya kepadaNya, dan yang dimakud bukan bertawassul kepada kedudukan al-Abbas; karena kedudukan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam lebih besar dan lebih tinggi darinya. Kedudukan ini tetap berlaku untuknya sepeninggalnya sebagaimana semasa hidupnya. Sean-dainya tawassul tersebut yang dimaksudkan, niscaya mereka telah bertawassul dengan kedudukan Nabi a daripada bertawas-sul kepada al-Abbas. Tetapi, nyatanya, mereka tidak melakukannya. Kemudian, bertawassul kepada kedudukan para nabi dan semua orang shalih adalah salah satu sarana kesyirikan yang terdekat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh fakta dan pengalaman. Oleh karenanya perbuatan ini dilarang untuk menutup jalan tersebut dan melindungi tauhid. Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan atas Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, vol. 30, hal. 78-81, al-Lajnah ad-Da'imah.
No comments:
Post a Comment