Hukum Mengadakan Ritual Di Kuburan Dengan Berkeliling Dan Memohon
Kepada Para Penghuninya
Tanya :
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum orang yang kebiasa-annya mengadakan ritual di kuburan dengan berkeliling di sekitarnya, memohon kepada para penghuninya, bernadzar untuk mereka dan (mengadakan) berbagai ritual lainnya.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum orang yang kebiasa-annya mengadakan ritual di kuburan dengan berkeliling di sekitarnya, memohon kepada para penghuninya, bernadzar untuk mereka dan (mengadakan) berbagai ritual lainnya.
Jawab :
Ini pertanyaan yang amat serius dan jawabannya butuh pemaparan panjanglebar, -atas pertongan Allah Ta’ala- kami katakan, sesungguhnya para penghuni kubur tersebut terbagi kepada dua klasifikasi:
Pertama, mereka yang meninggal dunia dalam kondisi Muslim dan manusia telah memuji mereka secara baik; orang yang dalam klasifikasi ini kita harapkan mendapat kebaikan, namun begitu, mereka amat membutuhkan doa dari saudara-saudara mereka, kaum Muslimin, agar mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah. Ini masuk kategori firman Allah,
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ’Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang’.” (Al-Hasyr: 10).
Dia sendiri tidak dapat memberikan manfa’at kepada siapa pun karena kondisinya sebagai mayyit, jasad tak bernyawa yang tidak bisa membentengi dirinya dari marabahaya apalagi terhadap selainnya. Dia juga tidak dapat mendatangkan manfa’at buat dirinya apalagi buat orang lain selain dirinya, karenanya dia amat membutuhkan manfa’at (jasa) yang diupayakan oleh saudara-saudaranya sementara dia tidak dapat memberikan manfa’at kepada mereka.
Kedua, Orang-orang yang karena ulah perbuatan-perbuatan mereka sendiri, menyeret mereka kepada kefasikan yang mengeluarkan dari dien ini, seperti mereka yang mengaku-aku sebagai para wali, mengetahui hal yang ghaib, dapat menyembuhkan penyakit serta dapat mendatangkan kebaikan dan manfa’at melalui sebab-sebab yang tidak diketahui secara fisik dan syara’. Mereka itulah orang-orang yang telah meninggal dunia dalam kekafiran, tidak boleh berdoa untuk mereka, juga tidak boleh memohonkan rahmat buat mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah,
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (At-Taubah: 113-114).
Mereka itu tidak dapat memberikan manfa’at dan tidak pula menimpakan mudharat/marabahaya kepada siapa pun. Jadi, tidak boleh bagi siapa pun untuk menggantungkan diri kepada mereka. Bila ternyata ditakdirkan bahwa ada salah seorang yang menyaksikan kekeramatan mereka, seperti terlihat baginya seolah di kuburannya memancar cahaya, atau keluar bau semerbak dari kuburannya dan lain sebagainya, semen-tara mereka itu dikenal sebagai orang yang mati dalam kekafiran, maka hal ini semata adalah tipu daya iblis dan akal-bulusnya untuk membuat mereka terkesan dengan para penghuni kuburan itu.
Saya ingin mengingatkan kaum Muslimin, dari ketergantungan hati kepada siapa pun selain Allah Ta’ala sebab di Tangan-Nyalah kekuasaan lelangit dan bumi dan kepada-Nyalah jua semua urusan akan kembali, tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan orang yang berhajat selain Allah dan tidak ada yang dapat menyingkap kejahatan selain Allah. Dia berfirman,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53).
Nasehat saya untuk mereka juga agar tidak hanya mentaklid (meng-ikuti tanpa dasar ilmu) dalam urusan dien mereka dan hendaknya mereka tidak mengikuti siapa pun selain Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).
“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”.” (Ali ‘Imran: 31).
Seluruh kaum Muslimin wajib menimbang perbuatan orang yang mengklaim sebagai wali tersebut dengan timbangan Kitabullah dan as-Sunnah; jika sesuai dengan keduanya, maka semoga saja dia termasuk salah seorang dari para wali Allah, dan jika dia menyelisihi Kitabullah dan as-Sunnah, maka dia bukanlah wali Allah sebab Allah sendiri berfirman,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawa-tiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62-63).
Siapa saja yang beriman dan bertaqwa, maka dialah wali Allah dan siapa saja yang bukan demikian, dia bukanlah wali-Nya. Siapa saja yang ada padanya sebagian iman dan taqwa, maka padanya sesuatu dari kewalian itu, meskipun demikian, kita tidak dapat memastikan adanya sesuatu itu pada sosok tertentu akan tetapi kita akan mengatakannya secara general bahwa setiap orang yang beriman dan bertaqwa, maka dialah wali Allah.
Ketahuilah, bahwa Allah bisa saja menguji seseorang dengan salah satu dari hal-hal ini; bisa jadi seseorang menggantungkan hatinya kepada sebuah kuburan lalu memohon kepada penghuninya atau mengambil sesuatu dari tanahnya untuk mencari berkah lantas terkabul keinginannya. Itu adalah cobaan dari Allah terhadap orang ini sebab kita mengetahui bahwa kuburan tersebut tidak dapat mengabulkan permohonan, demikian pula tanah itu tidak dapat dijadikan sebagai penyebab hilangnya suatu marabahaya atau didapatnya suatu manfa’at. Kita mengetahui hal ini berdasarkan firman-firman Allah Ta’ala,
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memper-kenankan (do'anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do'a mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan mereka itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (Al-Ahqaf: 5-6).
“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang. (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyem-bahnya akan dibangkitkan.” (An-Nahl: 20-21).
Dan ayat-ayat yang semakna dengan itu banyak sekali yang menunjukkan bahwa setiap orang yang memohon kepada selain Allah, maka ia tidak akan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan tidak akan bermanfa’at bagi si pemohonnya, akan tetapi bisa saja apa yang diinginkannya dalam permohonannya tersebut terkabul ketika dia memohon (berdoa) kepada selain Allah sebagai fitnah dan ujian dari-Nya.
Kami tegaskan, jika sesuatu yang diinginkan itu terkabul ketika berdoa tersebut, yakni doa yang dimohonkan kepada selain Allah, bukan lantaran doanya itu sendiri (hal itu terkabul -penj.)- Dalam hal ini adalah berbeda antara pengertian sesuatu terjadi dengan (karena) sesuatu dan sesuatu terjadi di sisi sesuatu secara kebetulan (ketika melakukan sesuatu itu)-, maka kita mengetahui secara yakin berdasarkan ayat-ayat yang banyak sekali yang disebutkan oleh Allah Ta’ala di dalam kitab-Nya bahwa permohonan kepada selain Allah bukanlah faktor yang menye-babkan didapatinya suatu manfa’at atau tertolaknya suatu mudharat (marabahaya) akan tetapi bisa saja sesuatu terjadi ketika bermohon (melakukan doa) sebagai bentuk fitnah dan ujian. Sebab, Allah terkadang menguji seseorang melalui faktor-faktor yang dapat menyebabkannya melakukan perbuatan maksiat agar Dia mengetahui siapa orang yang menjadi hamba-Nya dan siapa pula yang menjadi hamba (budak) nafsunya. Sebagai contoh, bukankah kita mengetahui perihal orang-orang yahudi yang melanggar ketentuan Allah pada hari Sabtu (Ashhab as-Sabt) di mana Allah telah mengharamkan bagi mereka berburu ikan pada hari tersebut, lalu Allah Ta’ala menguji mereka dengan menjadikan keberadaan ikan-ikan tersebut banyak sekali pada hari Sabtu tersebut sedangkan pada hari lainnya malah tidak muncul dan kondisi seperti ini berlangsung lama sehingga mereka berkata, “Kenapa kita mesti melarang diri kita dari berburu ikan-ikan ini?” Kemudian mereka berfikir, menaksir-naksir, merenung lalu memutuskan sembari berkata, “Kalau begitu, kita buat saja jaring ikan dan kita pasang pada hari Jum’at lalu pada hari Ahad kita akan mengambil ikan-ikan tersebut.” Mereka berani nekad melakukan hal itu, tidak lain sebagai akal bulus mereka untuk melanggar larangan-larangan Allah. Karenanya, Allah menjadikan mereka kera-kera yang hina, sebagaimana firman-Nya,
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf: 163)
Dan firman-Nya,
“Dan sesungguhnya telah Kami ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina”. Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 65-66).
Mari kita renungkan, bagaimana Allah demikian memudahkan bagi mereka berburu ikan-ikan tersebut pada hari yang justeru mereka dilarang melakukannya akan tetapi mereka -wal ‘iyadzu billah- tidak mau bersabar, lantas menyiasatinya dengan akal bulus tersebut terhadap larangan-larangan Allah.
Dalam pada itu, mari kita renungkan pula ujian yang Allah berikan kepada para shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam saat mereka dilarang berburu dalam kondisi sedang berihram padahal buruan-buruan tersebut dengan mudahnya dapat mereka tangkap akan tetapi mereka semua tidak berani melakukan sedikit pun dari larangan itu. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya adzab yang pedih.” (Al-Maidah: 94).
Buruan-buruan itu dengan mudah dapat mereka tangkap; buruan biasa dapat mereka tangkap dengan tangan sedangkan buruan yang berupa burung, dapat mereka bunuh dengan tombak. Ini semua gampang sekali bagi mereka akan tetapi mereka lebih takut kepada Allah Ta’ala sehingga tidak berani menangkap satupun dari buruan-buruan tersebut.
Demikian seharusnya seseorang wajib bertakwa kepada Allah Ta’ala manakala faktor yang menyebabkan dilakukannya perbuatan yang diharamkan telah ada di depan mata, dan tidak malah nekad melakukan-nya. Dia wajib mengetahui bahwa faktor-faktor penyebabnya tersebut dipermudahkannya baginya adalah merupakan cobaan dan ujian, karenanya dia harus mengekang dirinya dan bersabar sebab pastilah hasil akhir yang baik akan diraih oleh orang yang bertakwa.
( Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz II, hal. 227-231.)
No comments:
Post a Comment