Mengapa Perkawinan Harus Tercatat
Akibat hukum apabila suatu perkawinan yang tidak dicatatkan tentang keabsahan perkawinan baik menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, adalah perkawinan tersebut tidak sah. Hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengamanatkan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut perundang¬undangan yang berlaku. Selanjutnya ketentuan di dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, melalui Pasal 5 ayat (1) yang memuat ketentuan bahwa setiap perkawinan harus dicatat. Kemudian melalui Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dengan demikian, baik
Undang¬Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
sejalan dalam memandang perkawinan yang tidak dicatatkan adalah
1. tidak mempunyai kekuatan hukum. Selanjutnya akibat hukum
lainnya apabila status perkawinan yang tidak dicatatkan adalah isteri tidak
bisa mengugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami, istri tidak memperoleh
tunjangan perkawinan dan tujangan pensiun suami, ketika mengurus akta kelahiran
mengalami kesulitan, ketika terjadi perceraian isteri sulit (tidak bisa)
memperoleh perkaranya: harta gono-gini, nafkah iddah, ,kenangan
yang diberikan mantan suami kepada mantan isterinya dan harta warisan) ke
Pengadilan Agama karena perkawinannya tidak tercatat di KUA (Kantor Urusan
Agama).
2. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak
dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya mempunyai hubungan keperdataan
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 43 ayat (1)
Undang¬Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya, yang selanjutnya telah diubah melalui
PUTUSAN MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor: 46/PUU-VIII/2010,
3. Pertimbangan hukum terhadap penetapan Hakim Pengadilan
Agama Dalam Surat Penetapan Nomor : 11 1/Pdt.P/2014/PA.Medan, Hakim memuat
pertimbangan hukum, sebagai berikut : Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) menyatakan
bahwa Pasal 7 ayat (2) dalam pertimbangan yang tidak dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama, dan Pasal 7
ayat (3) huruf d menyatakan itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan
Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: adanya perkawinan yang
terjadi sebelum berlakunya Undang¬Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: untuk melaksanakan
perkawinan harus ada :calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi
dan ijab qabul. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, hakim sudah tepat
dalam menerapkan hukum in cancr eta pada penetapan Nomor: 11
1/Pdt.P/2014/PA.Medan tentang itsbat nikah karena memenuhi syarat dan rukun
perkawinan sehingga perkawinan tersebut sah secara hukum agama.
B. Saran
1. Disarankan
kepada masyarakat tentang betapa pentingnya untuk mencatatkan perkawinan mereka
di Kantor Urusan Agama, selain syarat tertib administrasi perkawinan dan
menentukanya sah di mata hukum Negara, juga disebabkan perkawinan yang tidak
dicatatkan tersebut memiliki dampak terhadap keabsahan perkawinan, juga
menimbulkan kerugian bagi isteri dan anak yang dilahirkan dalam mendapatkan hak
dan kewajiban apabila suami/ayah meninggal dunia.
2. Disarankan
kepada masyarakat untuk mencatatkan perkawinannya, agar dapat memberikan
perlindungan hukum kepada pasangan suami-isteri tidak hanya bagi para pihak
yang melaksanakan perkawinan, namun juga memberikan perlindungan hukum bagi
anak yang dilahirkan dari perkawinan, selanjutnya juga disarahkan kepada
pemerintah untuk mensosialisasikan pentingnya pencatatan perkawinan untuk
bertujuan memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi perkawinan.
3. Disarankan sebaiknya perkawinan tersebut dari awalnya
dicatatkan di Kantor Urusan Agama, apabila perkawinan tersebut tidak dicatatkan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku, apabila perkawinan
tersebut telah terlanjur tidak mencatatkan perkawinannya sebaiknya dikemudian
hari agar tidak terjadinya permasalahan hukum perkawinan yang tidak dicatatkan
disarankan maka selagi suami-isteri masih hidup sebaiknya perkawinan tersebut
diajukan itsbat nikah (pengesahan kembali perkawinan) ke Pengadilan Agama, dan
bagi Hakim Pengadilan Agama sebelum melakukan itsbat nikah (penetapan kembali
perkawinan), lebih ketat dalam menetapkan syarat-syaratnya dan lebih teliti untuk
memeriksa dokumen yang diajukan oleh pihak-pihak yang mengajukan itsbat nikah
(penetapan kembali perkawinan).
V. Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2006
Hutabarat, Regina, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam
Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, Jakarta :
Pustaka Ilmu, 1986
Manan, Bagir, Keabsahan dan Syarat-syarat Perkawi nan antar
Orang Islam Menurut UU No. 1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar
Nasional dengan tema Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas
dan Kepastian Hukum, yang diselengarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di
Hotel Redtop, pada hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hlm. 4
Nurddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata
Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.
1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2004
Prodjhohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia,
Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002
Saleh, Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982 Santoso, Happy, Nikah si ri apa untungnya, Jakarta: Visimedia,
2007
Satrio, J., Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Dalam
Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Summa, Amin, Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
No comments:
Post a Comment