Pendidikan Islam di Indonesia selalu dihadapkan pada
tantangan-tantangan serius yang membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah
dan kalangan yang berkecimpung di dunia pendidikan.Dewasa ini, pendidikan Islam
setidaknya menghadapi empat tantangan pokok.Pertama, konformisme kurikulum dan
sumber daya manusia; kedua, implikasi perubahan sosial politik; ketiga,
perubahan orientasi; dan keempat, globalisasi. Semua tantangan pendidikan Islam
tersebut terkait satu sama lain.
Musuh Kreativitas
Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun.Konformisme adalah musuh utama kreatifitas.Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.
Pendidikan Islam yang sudah “tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga terjebak pada konformisme.Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks. Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan (established), akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan Islam.
Kurikulum yang kini dijalankan di lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial.Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial.Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif.
Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen.
Sekalipun ditujukan ke dunia pendidikan nasional, tetapi peringatan Koko (panggilan Soedjatmoko) di atas terasa sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan Islam.Terhadap pendidikan nasional (sekuler) saja, sudah muncul keprihatinan yang mendalam, karena tidak ada terobosan yang begitu dahsyat setelah lebih 60 tahun merdeka.Apalagi terhadap pendidikan Islam.Padahal, ribuan bahkan jutaan SDM Indonesia kini dididik di lembaga pendidikan Islam dari tingkat sekolah dasar sampai pascasarjana.
Seperti dikutipkan di awal tulisan ini, tokoh nasionalis Bung Hatta juga punya pandangan menarik soal pendidikan Islam yang patut kita renungkan lagi.Ia mengutarakan nasehatnya malah sejak awal Republik, tetapi tidak pernah diaplikasikan secara serius. Sang proklamator mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat.
Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun.Konformisme adalah musuh utama kreatifitas.Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.
Pendidikan Islam yang sudah “tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga terjebak pada konformisme.Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks. Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan (established), akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan Islam.
Kurikulum yang kini dijalankan di lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial.Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial.Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif.
Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi
perubahan di luar dunia pendidikan mereka.Dunia ini jauh lebih kompleks
daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat
belajar-mengajar tadi.Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat
membuat mereka gagap.Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang
berwarna.Kebangsaan ini rupanya tak bisa dilihat secara monolitik, misal dari
sudut pandang umat Islam saja. Di sisi lain, kelompok sosial yang merupakan
produk pendidikan sekuler, dan mereka umumnya non-muslim, justru lebih adaptif,
responsif, serta menguasai tren iptek.
Perubahan sosial politik ikut memberi ‘warna’ pendidikan Islam.
Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik
terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubabahn sosial
politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh
para petualang politik mencari dukungan.Setelah dukungan suara didapatkan,
kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah.Realitas
seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama.Visi pendidikan
Islam akhirnya sulit berubah dari lembaga yang hanya mendidik para calon ulama,
dalam konotasinya yang ortodoks.
Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera
lembaga-lembaga pendidikan agama.Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat
citra baru, yakni mengajarkan radikalisme.Padahal kalau diperiksa tidak semua
pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta
didik berbuat radikal.Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap
menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai perguruan
tinggi.Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam
tindakan.
Perubahan Orientasi Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen.
Sayangnya lembaga pendidikan Islam terlalu lambat menyadari
ketertinggalan ini.Tokoh pendidikan kita terlalu berpikir konservatif dan masih
terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama-pendidikan umum.Padahal dikotomi
itu justru mematikan kreatifitas.Untunglah, dalam batas tertentu sebagian kecil
yang berlatar pendidikan “sekuler” relatif lebih cepat menyadari
kejumudan.Tidak heran, dewasa ini di perguruan tinggi umum diajarkan pula
ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam), psikologi Islam, antropologi agama
(Islam) dan lainnya.
Pada tahun 1980-an, cendekiawan Soedjatmoko sudah mewanti-wanti
bangsa Indonesia memasuki abad 21.Dikatakan, pendidikan menjadi “tumpuan”
harapan bangsa Indonesia untuk bersaing di kompetisi global.Ketika negara maju
terus melakukan pembaruan terhadap sistem pendidikan mereka, maka ironis sekali
melihat dunia pendidikan Indonesia tidak banyak melakukan terobosan, sekalipun
kecil.Kualitas SDM yang dibutuhkan sejatinya adalah SDM yang punya kualifikasi
dan visi global.Secara personal, mantan Rektor Universitas PBB itu mengatakan,
SDM masa depan, adalah SDM yang tidak hanya menguasai satu dua disiplin dan
keahlian tertentu, melainkan beberapa bidang ilmu dan keahlian sekaligus.Sekalipun ditujukan ke dunia pendidikan nasional, tetapi peringatan Koko (panggilan Soedjatmoko) di atas terasa sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan Islam.Terhadap pendidikan nasional (sekuler) saja, sudah muncul keprihatinan yang mendalam, karena tidak ada terobosan yang begitu dahsyat setelah lebih 60 tahun merdeka.Apalagi terhadap pendidikan Islam.Padahal, ribuan bahkan jutaan SDM Indonesia kini dididik di lembaga pendidikan Islam dari tingkat sekolah dasar sampai pascasarjana.
Seperti dikutipkan di awal tulisan ini, tokoh nasionalis Bung Hatta juga punya pandangan menarik soal pendidikan Islam yang patut kita renungkan lagi.Ia mengutarakan nasehatnya malah sejak awal Republik, tetapi tidak pernah diaplikasikan secara serius. Sang proklamator mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat.
Masalahnya, sebagian lembaga pendidikan Islam masih “alergi”
dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk
hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan.Sayangnya, kalangan Islam sendiri
tidak bisa melakukan dekonstruksi atas ilmu sosial Barat. Walau tidak
seluruhnya, akan tetapi secara umum kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan
Islam Indonesia mengalami kejumudan serius.
No comments:
Post a Comment