Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui
hukum syar’i dari dalil-dalil syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang
yang mampu melakukannya karena Allah r telah berfirman,
þ"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43, Al-Anbiya’: 7)
Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui
yang haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan
mengkaji nash-nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para
ahlul ilmi agar tidak menyelisihi itu semua. Di antara manusia, ada golongan
para penuntut ilmu (Thalib ‘ilm) yang hanya mengetahui sedikit ilmu tapi telah
menganggap dirinya mujtahid (mampu berijtihad), akibatnya ia menggunakan
hadits-hadits umum yang sebenarnya ada hadits-hadits lain yang
mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits yang Mansukh (dihapus) karena
tidak mengetahui hadits-hadits Nasikh-nya (yang menghapusnya), atau
mengguna-kan hadits-hadits yang telah disepakati ulama bahwa hadits-hadits
tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak mengetahui kesepakatan
para ulama.
Fenomena semacam ini tentu sangat berbahaya, maka seorang
mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil syari’at dan
dasar-dasarnya. Jika ia mengetahuinya, tentu bisa menyimpulkan hukum-hukum dari
dalil-dalilnya. Di samping itu, ia pun harus mengetahui ijma’ para ulama
sehingga tidak menyelelisihi ijma’ tanpa disadarinya. Jika syarat-syarat ini
telah terpatri dalam dirinya, maka ia bisa berijtihad. Ijtihad bisa juga
dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja, yang mana ia mengkaji dan
menganalisa sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut, atau
dalam suatu bab ilmu, misalnya bab thaharah saja, ia mengkaji dan
menganalisanya sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut.
Artikel ini dikompilasikan dari artikel tanya jawab dalam Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda
tangani, FATWA-FATWA TERKINI, penerbit DARUL HAQ)
No comments:
Post a Comment