Berbicara masalah berbagai amalan tentang setelah kematian seseorang adalah masalah klasik yang menarik untuk dibicarakan seperti tentang pahala maka kita akan
masuk dalam kontroversi klasik.
Karena dari jaman dulu kala hal ini sudah
menjadi satu perdebatan yang seru antar para pemikir Islam, pro dan kontra ini
semakin memanas manakala para pengikut masing-masing sudah semakin jumud dan
terjebak dalam taklid buta sehingga tidak bersedia lagi untuk melakukan kaji
ulang dengan lebih obyektif.
Sejauh mana hal-hal tersebut harus kita pahami
?
Mari sama-sama kita menganalsanya secara mendalam dan rasional.ditinjau dala dalil aqli dan naqli.
Over pahala maksudnya dimana seseorang
melakukan sholat, puasa, haji, mengaji Yasin, al-Fatihah dan sebagainya yang
diniatkan ataupun ia minta kepada Allah agar perbuatannya tersebut diberikan
kepada orang tertentu, apakah dia keluarganya, kawannya, tetangganya, gurunya
atau siapa saja yang dia kehendaki yang umumnya orang tersebut sudah meninggal
dunia.
Adakah over pahala semacam ini dalam al-Qur'an
?
Dibolak-balik, diputar bagaimanapun kitab Allah
itu tidak akan pernah bertemu dengan yang namanya over pahala, sebaliknya
al-Qur'an justru secara tegas memberikan sanggahan-sanggahannya.
Over pahala bisa ditemukan dalam beberapa
literatur hadis yang dianggap shahih didunia Islam, khususnya bagi jemaah
Ahlussunnah wal Jamaah, diantaranya :
Rasulullah pernah berkurban satu kambing buat
umatnya dan satu lagi buat dirinya dan keluarganya - Hadis Riwayat Ahmad
Seseorang bertanya kepada Rasulullah : 'Apakah
ibu saya mendapat ganjaran kalau saya bersedekah atas namanya ?' ; Rasulullah
jawab : 'Ya' - Hadis Riwayat Bukhari dan lain-lainnya
Seorang wanita berkata kepada Rasulullah : Ibu
saya mati meninggalkan puasa satu bulan. ; maka sabdanya : puasakanlah. - Hadis
Riwayat Bukhari
Barangsiapa mati meninggalkan puasa maka
hendaklah walinya mempuasakan untuk dirinya - Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim
Bagaimana menyikapi hadis-hadis tersebut ?
Kita setuju bila al-Qur'an merupakan hukum
tertinggi dalam Islam, apapun literatur diluarnya harus dikonfrontasikan
terlebih dahulu dengan al-Qur'an agar bisa diterima nilai validitasnya, inipun
berlaku terhadap hadis, karena itu salah satu persyaratan penentuan shahih
tidaknya suatu hadis adalah apabila hadis yang bersangkutan tidak bertentangan
dengan ayat-ayat al-Qur'an, baik secara samar apalagi terang-terangan.
Lalu bagaimana tanggapan al-Qur'an seputar
masalah ini ? Berikut beberapa diantaranya ...
"Tiap-tiap umat akan dipanggil untuk menerima
kitabnya, dan diserukanlah : Pada hari ini kamu akan dibalas sesuai dengan apa
yang kamu kerjakan" - Qs. 45 al-Jaatsiah : 28
Artinya :
Pada hari kiamat kelak, setiap orang akan
dipanggil untuk menerima berkas dari semua perbuatannya, baik ataupun buruk
selama ia hidup didunia.
"Maka dihari ini, tidak akan dianiaya
seseorang meski sedikitpun, dan tidak dibalas kamu melainkan apa yang sudah kamu
kerjakan "- Qs. 36 Yasin : 54
Artinya :
Pada hari kiamat kelak, setiap orang akan
menerima pembalasan atas semua perbuatannya, baik ataupun buruk selama ia hidup
didunia dan ini sama sekali tidak berdasarkan perbuatan orang lain.
"Bahwa seseorang tidak menanggung dosa orang
lain, dan seseorang tidak akan mendapat ganjaran melainkan apa yang telah dia
kerjakan" - Qs. 53 an-Najm : 39
Artinya :
Masing-masing orang akan memikul dosanya
sendiri dan masing-masing orang akan mendapat ganjaran dari perbuatannya
sendiri, tidak dari perbuatan dan usaha orang lain.
Dari konfrontasi diatas maka jelas al-Qur'an
menolak amalan over pahala, apapun maksud, tujuan dan caranya.
Lalu bagaimana dengan hadis-hadis tadi yang
bercerita mengenai over pahala ?
Ya otomatis tertolak dengan sendirinya !
Tetapi semuanya Shahih, bahkan diriwayatkan
juga oleh Bukhari dan Muslim ?
Renungkan ayat al-Qur'an berikut ini :
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. - Qs.
al-Ma'idah 5:45
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) lalu Allah
menghapuskan amal-amal mereka. - Qs. Muhammad 47:9
Bukhari dan Muslim adalah manusia biasa, jangan
memposisikan mereka seperti Tuhan yang tidak pernah salah, jangan terlalu
berlebihanlah dalam menilai seseorang. Kita harus bisa berlaku obyektif, kenapa
?
Jangankan Bukhari dan Muslim, bahkan Nabi Muhammad sendiri jelas-jelas pernah ditegur ALLAH 2 x
karena memastikan waktu turunnya wahyu (Qs. 18 al-kahfi : 23-24) dan bermuka
masam saat ada orang buta meminta pengajaran agama kepadanya (Qs. 80 'abasa :
1).
Artinya, tidak ada jaminan kemaksuman atas diri
seorang ( Bukhari dan Muslim.)
Kita bisa melihat dalam hadist-hadistnya,
Bukhari maupun Muslim tampaknya tidak memperketat kebenaran logika isi hadist
yang mereka terima, sehingga acapkali kita jumpai hadist-hadist yang berbau
dongeng dan diluar nalar pemikiran wajar yang justru bertentangan dengan
ketegasan al-Qur'an yang memerintahkan kita mempergunakan akal didalam beragama
(Qs. 5 al-maaidah: 58 Qs. 12 Yuusuf : 111, Qs. 39 az-zumar: 18 dan 21, Qs. 65
ath-thalaq: 10, Qs. 38 Shaad : 29 dan sejumlah ayat quran lainnya).
Misalnya saja hadist mengenai
perjalanan Isra dan mikra Nabi yang kental sekali nuansa dongengnya, dimana
disitu disebutkan pertemuan Nabi Muhammad dengan para Nabi sebelumnya yang sudah
wafat dan melakukan sholat berjemaah di Baitul Maqdis Palestina lalu dilanjutkan
dengan wawancara Nabi dan Jibril seputar keadaan umat akhir jaman sampai pada
kisah Nabi yang bolak-balik pulang pergi dari Tuhan menuju Musa dan sebaliknya
(perintah Sholat seperti membeli baju dipasar, ada tawar menawar) - hadis
mengenai mi'raj Nabi ini saja Bukhari memiliki beberapa versi yang berbeda,
mungkinkah semuanya benar ? -Tidak mungkin- pasti cuma ada satu yang benar atau
justru semuanya salah.
Belum lagi kisah Nabi Musa memukul keluar biji mata malaikat maut
saat akan mengambil ruhnya atau juga kisah seputar kemunculan Dajjal dan
turunnya 'Isa al-Masih menjelang kiamat yang juga justru banyak saling
bertentangan satu sama lain.
Sayangnya kita umat Islam justru menerima begitu saja dengan
menyandarkan bahwa semuanya bisa saja terjadi bila ALLAH berkehendak, menurut
saya justru alasan yang seperti inilah penyebab rusaknya cara berpikir umat
terhadap agamanya, menerima atau taqlid buta tanpa berani mengkaji secara
kritis.
Kita hormati
mereka atas jasa-jasanya namun itu tidak membuat kita berlaku pengkultusan
individu atas diri mereka.
Tetapi banyak orang melakukannya dan tidak
kurang ulama terkenal pun pernah mendakwahkan perihal kebenaran over pahala
tersebut ?
Saya jawab dengan ayat al-Qur'an saja :
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang
yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia
lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk. - Qs. al-An'am
6:116
Katakanlah:"Tidak sama yang buruk dengan yang
baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada
Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan". - Qs.
al-Ma'idah 5:100
Sekedar catatan tambahan :
A. Hassan dalam buku Soal Jawab Masalah Agama
3-4 (terbitan : Penerbit Persatuan Bangil) pada halaman 1152 mengatakan :
Menurut pertimbangan akal, maka ganjaran ibadat itu tidak bisa sampai kepada
orang lain lantaran Tuhan perintah beribadah itu agar kita terpelihara dari
kejahatan dan agar kita menjadi orang yang berbakti, agar kita menjadi orang
yang takut pada Allah.
Jika seandainya ibadat kita bisa dikerjakan
oleh orang lain, tentu kita tidak bisa jadi orang yang dimaksudkan dalam Qur'an
itu. Ibadah artinya memperhambakan diri, karenanya tidak bisa ada kalau tidak
dikerjakan oleh masing-masing orang. Jika ibadat seseorang boleh dikerjakan oleh
orang lain maka orang yang kaya bisa membayar manusia sekampung, bisa membayar
kyai terkenal untuk mengerjakan amal ibadahnya.
Saya jadi ingat pengalaman pribadi saat orang
tua saya meninggal tahun 2000 yang lalu, saat itu salah seorang saudara tua saya
dengan antusiasnya "membayar satu jemaah masjid" dari daerah lain untuk
membacakan tahlil dan yasin bagi almarhum ditambah acara makan-makannya, saya
sendiri menolak untuk ikut didalamnya.
Bagi saya perbuatan itu sia-sia saja,
saya menganggapnya sebagai perbuatan yang baik semata-mata untuk sipelakunya
sendiri dan jamuan makan malam seperti biasa. Pendirian saya dan almarhum orang
tua kebenaran sama, kami tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang bermanfaat
bagi orang yang sudah mati, kecuali doa mereka saja, sekali lagi doa bukan Yasin
bukan tahlil dan bukan dengan kirim-kiriman al-Fatihah. Ini harus dibedakan.
Lebih jauh, pada halaman 1133 s/d 1138 secara
panjang lebar A. Hassan dalam buku yang sama memperlihatkan bagaimana sejumlah
ulama dan ahli tafsir pun banyak yang menolak amalan over pahala ini, misalnya
At-Thabari (27:39-40), A. Fakhrur Razie (7:738), Ibnu Katsier (8:120 dan 3:444),
Jalalain (3:198), Fathul Qadier (5:111), Nasa'i dengan berpegang pendapat Ibnu
Abbas (Telah berkata Ibnu Abbas : Janganlah seseorang menggantikan sholat
seseorang dan jangan pula ia puasakan seseorang), Malik bin Anas dengan
berpegang pada perkataan Ibnu Umar (Tidak boleh seseorang mempuasakan orang lain
dan tidak boleh dia menggantikan sholat orang lain), Fathul Barie (4:47 yang
diambil dari perkataan Ibnu Umar juga : Telah berkata Ibnu Umar : Tidak boleh
seseorang menghajikan orang lain).
Sekiranya over pahala dibolehkan oleh Nabi,
tentu para sahabat tersebut tidak berani berkata demikian, adanya perkataan dari
beberapa sahabat itu memberi arti bahwa Nabi Muhammad memang tidak pernah
memperbolehkan over pahala, baik itu haji, puasa, sholat dan sebagainya.
Maih menurut A. Hassan juga, dalam Fathul Barie
4:49 disebutkan : Imam Malik memandang bahwa zhahirnya Hadis wanita
Khast-'amiyah (yaitu menghajikan bapaknya) itu menyalahi zhahirnya al-Qur'an,
maka Imam Malik berpegang pada al-Qur'an.
Saat disampaikan pada 'Aisyah perkataan Umar
dan Ibnu Umar bahwa mayat itu disiksa karena ditangisi keluarganya, hadis itu
dibantah oleh 'Aisyah dan merujuk pada Qs. al-Israa' 17 ayat 15 bahwa seseorang
tidak memikul dosa orang lain ... dan ini pun riwayat dari Bukhari dari Ibnu
Abbas.
Dengan demikian, semakin jelas masalah ini
memang tidak bisa dibenarkan, baik menurut al-Qur'an, logika ataupun
dikonfrontasikan dengan beberapa hadis Nabi yang lain.
Jika mau berdoa ya berdoa saja, kalau memang
mau pakai bahasa Arab maka ucapkan Allahhummaghfirlie ...dan seterusnya atau
yang sejenis, dan jika mau memakai bahasa Indonesia atau bahasa daerah maka
pilih saja kata-kata yang baik dan pantas.
Tidak ada yang perlu dilogikan untuk masalah
ini karena logika jelas menentangnya, masalah ibadah seperti sholat, haji dan
membaca al-Qur'an berhubungan langsung dengan Allah sementara masalah hutang
piutang duniawiyah berhubungan langsung dengan sesama manusia, sehingga saat
orang tua kita meninggal, saudara kita meninggal maka kita sebagai ahli rumahnya
memiliki kewajiban untuk menyelesaikan semua hutang piutang yang terjadi,
sementara dengan Allah itu bukan urusan kita, melainkan urusan orang yang
bersangkutan sendiri dengan Allah, jika memang ia punya hutang dengan Allah dan
dia keburu meninggal sebelum sempat membayar hutangnya itu maka itu artinya Dia
menagih dengan cara-Nya sendiri.
Sebenarnya yasinan ini sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah,
sepanjang sepengetahuan saya, Nabi dan keluarganya serta para sahabat tidak
pernah berbuat hal yang demikian.
Acara yasinan diduga kuat berasal dari para wali ketika berusaha
menyebarkan Islam didaerah-daerah yang masih menganut paham Hindu maupun
animisme. Mereka menyusupkan ajaran-ajaran Islam ditengah tradisi dan kebiasaan
masyarakat yang waktu itu masih sangat kuat mengakar.
Hal yang sama misalnya dilakukan oleh
Sunan Kali Jaga melalui wayangnya, Sunan Gunung Jati melalui lagu-lagunya dan
seterusnya.
Apakah
perbuatan mereka itu salah ? jawabnya - ya - dan - tidak -
Dalam kondisi tertentu, memang diperlukan teknik-teknik khusus untuk
bisa menarik orang kedalam ajaran Islam, kita harus ingat bahwa tidaklah mungkin
kita bisa merubah kebiasaan suatu kaum secara drastis, pertentangan akan selalu
muncul disana-sini, dan jika tidak bijak menghadapinya malah bisa terjadi
bentrokan fisik yang malah akan merugikan semua pihak.
Disini Ijtihad para wali itu mungkin bisa dimaafkan dan
diterima.
Dari sisi
lain, sekali lagu perbuatan-perbuatan semacam itu tidak ada tuntunannya secara
agama.
Kalau mau
mengaji ya mengaji saja, kenapa harus ditetapkan surah Yasin saja ? kenapa tidak
an-Nisaa' atau kenapa tidak al-a'la kenapa tidak surah al-Baqarah ?
Firman Allah :
karena itu bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari al-Qur'an. - Qs. 73 al-Muzammil 20
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah - Qs. 64 at-Taghaabun
16
Selanjutnya,
membaca al-Qur'an sebenarnya tidak diperbolehkan secara beramai-ramai seperti
yang sering kita lihat pada acara yasinan, tahlilan dan sejenisnya.
Firman Allah :
Dan apabila dibacakan
al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar
kamu mendapat rahmat. - Qs. 7 al-A'raaf 204
Sudah
jelas bahwa jika ada suatu forum membaca al-Qur'an, cukup satu saja yang
membaca, yang lain mendengar dan menyimaknya, tujuannya tidak lain agar bila
terjadi kesalahan baca bisa saling membenarkan, coba anda lihat orang-orang yang
yasinan itu, mereka semuanya sibuk mengaji, malah seolah adu cepat dalam
membaca, lalu bagaimana bila ada yang salah baca ? siapa yang mengoreksinya ?
dibiarkan saja jelas salah.
Mendengarkan bacaan al-Qur'an itulah yang sebenarnya mendapat
rahmat, bukan berebut membacanya sehingga tidak lagi mengindahkan panjang pendek
huruf, tidak lagi memperhatikan keindahan bacaan, lihatlah kembali dan dengarlah
saat ada orang yang yasinan, suaranya jadi tidak jelas, bergumam bukan, nyanyi
juga bukan yang ada hanya riuh ribut saja.
Padahal firman Allah :
Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan
dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia
dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. - Qs. 17 al-Israa' 106
Dan bacalah al-Qur'an itu
dengan perlahan-lahan. - Qs. 73 al-Muzammil 4
Saat ada orang meninggal, biasanya juga
sibuk saling membagikan yasin didekat jenasah, malah diatas kepala simayat tadi
diletakkan juga al-Qur'an. Untuk apa ?
Kalau tujuan membagikan yasin adalah
agar orang tidak mempergunjingkan orang yang meninggal ini tadi, ya boleh-boleh
saja, tetapi itupun kenapa harus dikhususkan Yasin ?
Masalah mendudukkan al-Qur'an diatas
kepala mayat adalah hal yang percuma ... al-Qur'an itu berguna saat manusia itu
masih hidup, jika maut sudah datang, tidak akan ada manfaatnya apa-apa.
Terima kasih telah membaca artikel ini yang saya kompilasi dari tulisan Armansyah dalam artikel kajian islam, dengan informasi dan pelajaran berhaqrga ini mudah mudahan ada manfaatnya bagi umat islam khususnya supaya terhindar dari kontroversi tentang persoalan hukum islam yang terjadi di masyarakat. amiin.
No comments:
Post a Comment