1. Pertanyaan:
Sebagian ilmuwan dari kalangan para praktisi dakwah dan
sebagian penuntut ilmu (thalib 'ilm), berbicara tentang masalah-masalah
syari'at padahal mereka bukan ahlinya. Fenomena ini telah memasyarakat di
kalangan kaum muslimin sehingga perma-salahannya menjadi campur baur. Kami
mengharap kepada Syaikh yang mulia untuk menjelaskan fenomena ini, semoga Allah
me-melihara Syaikh.
Jawaban:
Seorang muslim wajib memelihara agamanya dan hendaknya tidak
meminta fatwa dari yang asal-asalan dan tidak berkompeten, tidak secara
tertulis dan tidak juga lewat siaran yang dapat dide-ngar dan tidak dari jalan
apa pun, baik yang berbicara itu seorang pakar maupun seorang ahli, karena yang
memberikan fatwa harus mantap dalam memberikan fatwa, karena tidak setiap yang
mem-beri fatwa itu berkompeten untuk memberi fatwa, maka harus waspada.
Maksudnya, seorang muslim harus menjaga agamanya sehingga
tidak terburu-buru dalam segala hal dan tidak menerima fatwa dari yang bukan
ahlinya, tapi harus jeli sehingga bersikap hati-hati dalam kebenaran, bertanya
kepada ahlul ilmi yang dike-nal konsisten dan dikenal dengan keutamaan ilmunya
sehingga memelihara agamanya, Allah SWT telah berfirman,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."(An-Nahl: 43).
Ahludz dzikr adalah ahlul ilmi yang menguasai ilmu dari
Al-Kitab dan As-Sunnah. Tidak boleh bertanya kepada orang yang agamanya
diragukan atau keilmuannya tidak diketahui atau orang yang diketahuinya
berpaling dari faham ahlus sunnah.
Artikel ini dikompilasi dari Majalah Al-Buhuts, edisi 36, hal. 121, Syaikh Ibnu
Baz)
2. Pertanyaan:
Saya seorang penuntut ilmu, sering ditujukan kepada saya
berbagai pertanyaan tentang macam-macam perkara, baik itu berupa ibadah ataupun
lainnya. Saya tahu jawabannya dengan pasti, baik itu saya pernah mendengarnya
dari seorang Syaikh atau dari fatwa-fatwa, tapi saya kesulitan menemukan
dalilnya yang shahih, saya kesulitan mentarjihnya. Apa saran Syaikh untuk para penuntut
ilmu dalam masalah ini?
Jawaban:
Jangan memberi fatwa kecuali berdasarkan ilmu, alihkan
mereka kepada selain anda, yaitu kepada yang anda perkirakan lebih baik dari
anda di negeri ini dan lebih mengetahui al-haq. Jika tidak, maka katakanlah,
"Beri saya waktu untuk mengkaji dalil-dalilnya dan menganalisa
masalahnya." Setelah anda merasa mantap dengan kebenaran dalil-dalilnya,
barulah anda beri mereka fatwa yang anda pandang benar.
Saya juga sarankan kepada para pengajar, sehubungan dengan
pertanyaan ini dan lainnya; Hendaknya mereka peduli dengan membimbing pada
mahasiswa dalam masalah yang besar ini, me-ngarahkan mereka untuk jeli dalam
berbagai perkara dan tidak terburu-buru dalam memberi fatwa serta tidak
memastikan suatu perkara kecuali berdasarkan ilmu. Hendaknya para pengajar
menjadi teladan bagi mereka dalam sikap tawaqquf (tidak berko-mentar) dalam
masalah yang sulit dan janji untuk mengkajinya dalam satu atau dua hari atau
pada waktu pelajaran berikutnya, sehingga dengan begitu para mahasiswa terbiasa
dari ustadznya dengan sikap tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa dan
menetapkan hukum, kecuali setelah memastikan dan menganalisa dalilnya serta
merasa mantap bahwa yang benar adalah yang diucapkan ustadznya. Tidak ada
salahnya untuk menangguhkan pada waktu lain sehingga punya kesempatan untuk
mengkaji dalilnya dan menganalisa ucapan-ucapan para ahlul ilmi dalam masalah
yang bersangkutan.
Adalah Imam Malik, beliau hanya memberi fatwa tentang
sedikit permasalahan dan menolak banyak pertanyaan, beliau me-ngatakan,
"Saya tidak tahu" Demikian juga para ahlul ilmi lainnya.
Seorang penuntut ilmu, di antara etikanya adalah tidak
ter-gesa-gesa dan hendaknya mengatakan, "Saya tidak tahu" tentang
masalah yang memang tidak diketahuinya.
Sementara para pengajar, mereka mempunyai kewajiban besar,
yaitu menjadi teladan yang baik bagi para muridnya, baik dalam segi akhlak
maupun perbuatan. Di antara akhlak yang mulia adalah membiasakan murid
mengatakan "saya tidak tahu" dan menang-guhkan pertanyaan hingga
memahami dalilnya dan mengetahui hukumnya yang disertai dengan kewaspadaan
memberi fatwa tanpa ilmu dan menggampangkannya. Wallahu a’lam.
(SUMBER: Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 47, hal.
173-174, Syaikh Ibnu Baz)
No comments:
Post a Comment