Sunday, October 2, 2016

Hukum Perkawinan Sirri menurut UU No.1 /1974 dan Hukum Islam




AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN  KETIKA SALAH SATU PIHAK MENINGGAL DUNIA MENURUT  UNDANG -UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG  PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

I. Pendahuluan
Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa (akil baligh), siap lahir batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya ke jenjang pernikahan. Jenjang inilah yang menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang. Dibandingkan dengan hidup sendirian, kehidupan berkeluarga memiliki banyak tantangan dan sekaligus mengandung sejumlah harapan positif. Tidak dimungkiri dalam pernikahan terdapat banyak manfaatnya jika kita dapat mengelolanya dengan baik.1


Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 1 mendefenisikan tentang pengertian perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain pernikahan dapat pula diartikan sebagai bentuk suatu ikatan perjanjian antara pasangan suami-istri yang harus bekerja sama dan bertanggung jawab terhadap segala urusan rumah tangganya agar bisa terbangun sebuah keluarga yang kekal, bahagia dan sejahtera dengan bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah meneruskan generasi¬generasi keluarga mereka.

Di samping itu, defenisi perkawinan tersebut di atas ditelaah, maka terdapatlah 5 unsur perkawinan di dalamnya yaitu:
1.            Ikatan lahir batin.2.        Antara seorang pria dengan seorang wanita.3.  Sebagai suami istri.
4.            Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, dan 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3 Jadi dapat dikatakan Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada pasangan suami-isteri yang mampu untuk segera melaksanakannya, jalan yang dipilih oleh Allah SWT agar pasangan suami-isteri dapat bekerja sama, tanggung jawab, serta melestarikan keturunan (anak - cucu) dan bertujuan agar bisa terbangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahma. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.
Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dicatatkan, Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Pasal 2 ayat 2
2 Wantjik Saleh, Hukum Per kawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.
3 Amiur Nurddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 43
4 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.

Pada -tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku'.
Pencatatan perkawinan itu berfungsi sangat penting sebagai alat bukti tertulis yang sah untuk memperkarakan persoalan rumah tangga secara hukum di Pengadilan Agama. Disamping itu, juga untuk urusan-urusan administratif suami¬isteri dan anak-anaknya.
Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum.7 Akta nikah/ Buku Nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahannya suatu perkawinan adalah menurut agama.8
Dalam hal ini ada yang menjadi masalah yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan. Memang masalah perkawinan yang tidak dicatatkan sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengetahuan pihak berwenang tersebut.
Biasanya perkawinan yang tidak dicatatkan hanya dilakukan oleh seorang ustad atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (Kantor Urusan Agama bagi yang muslim) atau KCS (Kantor Catatan Sipil bagi yang non muslim) untuk dicatat.
Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah dimata hukum Negara. Akibat
5 Pasal 2 ayat 2 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
6 Regina Hutabarat, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, (Jakarta : Pustaka Ilmu, 1986), hlm. 58
7 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No. 1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselengarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hlm. 4
8 Ibid, hlm. 6

perkawinan tersebut berdampak sangat merugi bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.
Dalam prsepektif hukum, hak anak memiliki aspek yang universal terhadap kepentingan anak. Dalam pandangan hukum, hak anak memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan manusia adalah membangun manusia yang memegang teguh ajaran agama. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan hukum meliputi aspek hukum dalam lingkungan hidup seseorang.
Perkawinan yang tidak dicatatkan, yang telah memenuhi semua rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam hukum fiqih (hukum Islam), namun tanpa pencatatan resmi di Instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut seringkali menimbulkan sengketa. Sebab tuntutan akan sulit dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan. Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak dalam Islam adalah menentukan apakah ada atau tidak ada hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki. Dalam hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti bahwa keturunan yang satu adalah keturunan atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak yang demikian disebut anak sah. 9
Itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan) bisa hanya bisa dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat di atas, itsbat nikah bukan hanya pada pernikahan yang berazas monogami akan tetapi bisa juga pada pasangan suami-isteri yang menikah siri, pasangan suami-isteri yang telah mencatatkan perkawinannya secara resmi melalui pejabat yang telah diatur ketentuannya, berhak memperoleh akta nikah yang dapat dipergunakan untuk mengurus keperluan dalam rumah tangga, itsbat nikah apabila salah satu pasangannya meninggal dunia maka salah satu pasangannya suami/istri dapat mengajukan permohonan itsbat nikah, bisa juga

anak-anaknya yang mengajukan permohonan itsbat nikah. Itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan) bertujuan untuk dapat menuntut hak istri, anak-anak dalam membina suatu rumah tangga apabila dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan adanya itsbat nikah tersebut maka isteri dapat mendapat warisan dan anak-anaknya bisa mendapatkan warisan dari peninggalan ayahnya.
Perumusan masalah penelitian ini adalah:
1.Bagaimana akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan menurut Undang¬Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?
2.Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang tidak dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia?
3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap perkawinan yang tidak
dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia menurut Penetapan Hakim
Pengadilan Agama Nomor 11 1/Pdt.P/PA.Mdn?
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini ialah :
1.Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2.Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia

II. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif (yuridis normatif). Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer yaitu: bahan-bahan hukum atau dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang berupa bahan  pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan, yang antara lain terdiri dari :
1.            Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.            Kompilasi Hukum Islam (KHI).
3. Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
b.Bahan Hukum Sekunder yaitu : bahan-bahan hukum yang berkaitan erat dan memberikan penjelasan bahan hukum primer yang ada dan dapat membantu untuk proses analisis seperti buku-buku yang ditulis para ahli hukum, doktrin/ pendapat/ajaran para ahli hukum, hasil seminar, jurnal-jurnal hukum, karya ilmiah, artikel majalah, maupun Koran serta artikel-artikel sumber dari dunia maya/internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian dan lain-lain.
c.Bahan Hukum Tersier yaitu: semua bahan yang memberikan petunjuk penjelasan dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, ensiklopedia, dan lain-lain.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan : metode penelitian kepustakaan (library research). Untuk lebih mengembangkan data penelitian ini, dilakukan Analisis secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman analisis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang lama adalah sah. Sebab dengan dilakukannya pencatatan perkawinan tersebut akan diperoleh suatu alat bukti yang kuat sebagai alat bukti autentik berupa akta nikah (akta perkawinan), yang didalamnya memuat sebagai berikut:10
a.Nama, tanggal, dan tempat lahir, agama dan kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-istri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu.
b.Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua mertua.
c.Izin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun/dari wali atau pengadilan.
d.Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria dan dibawah umur 16 tahun bagi wanita.
e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih dari seorang istri.
f.Persetujuan kedua mempelai
g.Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota TNI
h.Perjanjian perkawinan jika ada
i.             Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
j.             Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.11
Pada perkawinan yang tidak dicatatkan tidak diakui oleh hukum formal karena tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam. Tidak dicatatkan perkawinan akan berdampak negatif pada status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak yang tidak sah. Pasal 42 dan 43 Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat yang sah, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini juga

telah diperkuat dengan Pasal 100 KHI (Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini tentu saja merugikan anak, oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 100 KHI (Kompilasi Hukum Islam) tersebut tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ayah biologisnya.12
Jika dikaitan dengan hasil penelitian tentang kedudukan harta benda perkawinan pada perkawinan yang tidak dicatatkan, maka isteri yang dinikahkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan sepanjang isteri tersebut tidak disahkan secara hukum Negara maka isteri tersebut tidak akan mendapatkan harta dari perkawinannya tersebut serta anak yang dihasilkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Akan tetapi, jika isteri dan anak tersebut telah melakukan itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan) maka isteri dan anak tersebut terbukalah untuk mendapatkan harta warisan dari si suami/ayah yang meninggal dunia, dengan catatan isteri dan anak tersebut melaksanakan atau melakukan penetapan kembali perkawinan.
Hasil dari Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 46/PUU-VII/2010, mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah’termasuk hubungan perdata ,ketentuan pasal tersebut anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan berhak mendapatkan warisan dari ayahnya sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah.
Mengenai hal ini Kompilasi Hukum Islam yang mengatur jelas tentang harta bersama perkawinan, yang dijelaskan dalam Pasal 1 huruf f menyatakanharta yang  diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama

Kekayaan Dalam Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 85 Kompilasi Hukum,  tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami-isteri”I Berdasarkan pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Medan dalam penetapan nomor 11 1/Pdt.P/2014/PA.Mdn tentang itsbat nikah (penetapan kembali pernikahan) maka :
Pertama, dalam kasus tersebut perkawinan yang dilakukan Pemohon Naik Br. Ginting Binti Baru Ginting dengan Alm. Namaken Sembiring bin Nyepi  .Pemohon yang
berstatus gadis dan Alm. Namaken Sembiring bin Nyepi Sembiring yang berstatus lajang dan tidak ada suatu halangan yang dapat menghalangi terjadinya pernikahan . Wali yang menikahkan Pemohon dengan Alm. Namaken Sembiring bin Nyepi Sembiring sesuai dengan hukum syariat Islam, yaitu ayah kandung Pemohon yaitu Baru Ginting bin Tongging Ginting.
Hakim dalam hal ini sudah tepat menetapkan sahnya pernikahan, dengan memperhatikan pasal-pasal yang terdapat di dalam Peraturan Perundang¬undangan yang berlaku dan kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini.
Selanjutnya, di dalam pertimbangannya hakim juga menyatakan bahwa tidak terdapat halangan perkawinan dalam perkawinan antara Naik Br. Ginting binti Baru Ginting dengan Alm. Namaken Sembiring bin Nyepi Sembiring hal ini sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 40 - 44 Kompilasi Hukum Islam.
Kedua, dalam hal itsbat nikah (penetapan kembali pernikahan), Majelis Hakim menyatakan pernikahan antara Pemohon dengan Alm. ketentuan hukum yang berlaku yang telah sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.
Selanjutnya, oleh karena bukti nikah Pemohon tidak ada maka Pemohon membutuhkan bukti pernikahan berupa pengesahan nikah dari Pengadilan Agama untuk mengurus pensiun janda di PT. TASPEN dan pernikahan dilangsungkan

sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berdasarkan Pasal 7 ayat (2) dan (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam maka permohonan Pemohon cukup beralasan. Dalam hal ini, Hakim Pengadilan Agama Medan tentang itsbat nikah (penetapan kembali suatu perkawnan) Surat Penetapan Nomor 11 1/Pdt.P/2014/PA.Mdn pada Pengadilan Agama Medan, Hakim menimbang bahwa pemohon telah menikah secara sah Pemohon dengan Alm. Namaken Sembiring bin Nyepi Sembiring.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Hakim dalam hal ini sudah tepat menerapkan hukum in concreto, terhadap Surat Penetapan Nomor: 11 1/Pdt.P/2014/PA.Medan.
Maka dengan adanya pasal tersebut Hakim Pengadilan Agama Medan berpendapat telah sesuai dengan Surat Penetapan yang ada. Oleh karena itu, pertimbangan dalam Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan pada perkara Nomor 11 1/Pdt.P/2014/PA.Mdn pada hari kamis tanggal 08 Mei 2014 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan perkara ini.
IV. Kesimpulan Dan Saran
A. Kesimpulan
1. Akibat hukum apabila suatu perkawinan yang tidak dicatatkan tentang keabsahan perkawinan baik menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, adalah perkawinan tersebut tidak sah. Hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengamanatkan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut perundang¬undangan yang berlaku. Selanjutnya ketentuan di dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, melalui Pasal 5 ayat (1) yang memuat ketentuan bahwa setiap perkawinan harus dicatat. Kemudian melalui Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian, baik Undang¬Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sejalan dalam memandang perkawinan yang tidak dicatatkan adalah

tidak mempunyai kekuatan hukum. Selanjutnya akibat hukum lainnya apabila status perkawinan yang tidak dicatatkan adalah isteri tidak bisa mengugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami, istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tujangan pensiun suami, ketika mengurus akta kelahiran mengalami kesulitan, ketika terjadi perceraian isteri sulit (tidak bisa) memperoleh perkaranya: harta gono-gini, nafkah iddah, P+t’aQD(kL LIN¬kenangan yang diberikan mantan suami kepada mantan isterinya dan harta warisan) ke Pengadilan Agama karena perkawinannya tidak tercatat di KUA (Kantor Urusan Agama).
2. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 43 ayat (1) Undang¬Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
B. Saran
1.            Disarankan kepada masyarakat tentang betapa pentingnya untuk mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama, selain syarat tertib administrasi perkawinan dan menentukanya sah di mata hukum Negara, juga disebabkan perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut memiliki dampak terhadap keabsahan perkawinan, juga menimbulkan kerugian bagi isteri dan anak yang dilahirkan dalam mendapatkan hak dan kewajiban apabila suami/ayah meninggal dunia.
2.            Disarankan kepada masyarakat untuk mencatatkan perkawinannya, agar dapat memberikan perlindungan hukum kepada pasangan suami-isteri tidak hanya bagi para pihak yang melaksanakan perkawinan, namun juga memberikan perlindungan hukum bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan, selanjutnya juga disarahkan kepada pemerintah untuk mensosialisasikan pentingnya pencatatan perkawinan untuk bertujuan memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi perkawinan.
3. Disarankan sebaiknya perkawinan tersebut dari awalnya dicatatkan di Kantor Urusan Agama, apabila perkawinan tersebut tidak dicatatkan sesuai dengan

ketentuan Undang-undang yang berlaku, apabila perkawinan tersebut telah terlanjur tidak mencatatkan perkawinannya sebaiknya dikemudian hari agar tidak terjadinya permasalahan hukum perkawinan yang tidak dicatatkan disarankan maka selagi suami-isteri masih hidup sebaiknya perkawinan tersebut diajukan itsbat nikah (pengesahan kembali perkawinan) ke Pengadilan Agama, dan bagi Hakim Pengadilan Agama sebelum melakukan itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan), lebih ketat dalam menetapkan syarat-syaratnya dan lebih teliti untuk memeriksa dokumen yang diajukan oleh pihak-pihak yang mengajukan itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan).

V. Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Hutabarat, Regina, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, Jakarta : Pustaka Ilmu, 1986
Manan, Bagir, Keabsahan dan Syarat-syarat Perkawi nan antar Orang Islam Menurut UU No. 1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselengarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hlm. 4
Nurddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2004
Prodjhohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002
Saleh, Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 Santoso, Happy, Nikah si ri apa untungnya, Jakarta: Visimedia, 2007
Satrio, J., Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Dalam Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Summa, Amin, Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
( Artikel ini dikompilasi dari tulisan Muhammad Rachardi  )

No comments:

Post a Comment